Tradisi Ramadan zaman dulu mulai hilang karena perubahan gaya hidup, urbanisasi, dan digitalisasi yang mengubah cara masyarakat menjalani kehidupan sehari-hari.
Bikin Rindu Masa Lalu, Ini 7 Tradisi Ramadan Zaman Dulu yang Sekarang Kian Ditinggalkan
Diperbarui: Diterbitkan:

Ilustrasi tradisi berkeliling membangunkan sahur. (credit: pixabay/hosnysalah)
Kapanlagi.com - Bulan Ramadan selalu menghadirkan atmosfer yang istimewa bagi umat Muslim di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Dari semaraknya penyambutan hingga kehangatan di penghujung bulan, Ramadan bukan hanya sekadar waktu untuk beribadah, tetapi juga penuh dengan kenangan berharga.
Berbagai tradisi unik yang diwariskan sejak zaman dulu menjadi bagian tak terpisahkan dari pesona bulan suci ini. Pawai obor yang megah dan perang sarung yang seru adalah contoh nyata dari keseruan dan kebersamaan yang sulit dilupakan. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak dari tradisi ini mulai memudar akibat perubahan zaman.
Di era digital dan gaya hidup yang semakin modern, kemeriahan Ramadan perlahan-lahan mengalami transformasi. Tradisi yang dulunya meriah dan menghibur kini semakin jarang dijumpai, terutama di kota-kota besar. Lantas, tradisi Ramadan apa saja yang kian hilang dari ingatan kita? Mari kita telusuri penjelasannya berikut ini, dirangkum Kapanlagi.com pada Rabu (22/1).
Advertisement
1. Pawai Obor dan Tabuhan Bedug Keliling Kampung
Mengutip jurnal unsa.ac.id berjudul "Tradisi Pawai Obor Menyambut Bulan Suci Ramadhan Dalam Perspektif Komunikasi Lintas Budaya Pada Masyarakat Kota Pontianak" di zaman dulu, menjelang Ramadan, masyarakat selalu menggelar pawai obor yang diiringi tabuhan bedug dan kentongan.
Dari anak-anak hingga orang dewasa, semua terlibat dalam keceriaan ini, menciptakan momen yang tak terlupakan. Apalagi saat malam takbiran menjelang Idul Fitri, suasana semakin bergemuruh dengan takbir dan cahaya obor yang menerangi malam.
Sayangnya, tradisi indah ini kini hanya tersisa di beberapa daerah pedesaan, sementara di perkotaan, pawai obor mulai pudar digantikan oleh suara pengeras masjid. Kehilangan tradisi ini membuat banyak orang merindukan momen kebersamaan yang hangat dan penuh makna.
(Festival Pestapora 2025 dipenuhi kontroversi, sederet band tiba-tiba memutuskan untuk CANCEL penampilannya.)
2. Mengisi Buku Agenda Ramadan
Dirujuk kalsel.kemenag.go.id, mengisi buku agenda Ramadan adalah kebiasaan yang populer di kalangan pelajar. Buku ini biasanya mencatat ibadah harian seperti salat, puasa, dan tadarus.
Dengan semangat berlomba, siswa-siswi berusaha menyelesaikan agenda mereka demi meraih apresiasi dari guru, menjadikan setiap halaman penuh makna.
Namun, sayangnya, semakin sedikit sekolah yang menyediakan buku agenda ini, membuat kenangan indah tersebut perlahan memudar dari ingatan generasi sekarang.
Diharapkan, melalui buku ini, siswa tidak hanya belajar disiplin, tetapi juga menjadikan setiap aktivitas ibadah sebagai panduan berharga dalam menjalani kehidupan sesuai syariat Islam.
Advertisement
3. Berburu Tanda Tangan Imam Tarawih
Dalam semarak Ramadan, anak-anak biasanya tak hanya sibuk mencatat di buku agenda, tetapi juga berkeliling mencari tanda tangan imam setelah salat tarawih, menjadikan momen ini sebagai ajang interaksi sosial yang penuh keceriaan di masjid.
Sayangnya, tradisi yang penuh kehangatan ini mulai pudar seiring dengan kemajuan digital dan perubahan cara beribadah. Bagi mereka yang pernah merasakannya, kenangan akan aktivitas ini tetap membekas, menghadirkan nostalgia manis dari masa kecil yang tak terlupakan.
4. Perang Sarung
Di masa lalu, perang sarung menjadi permainan yang penuh keceriaan bagi anak-anak, yang dengan riang menggulung sarung mereka dan beraksi di waktu ngabuburit atau setelah salat. Suara tawa dan momen kebersamaan mengisi udara, tanpa ada niat untuk melukai satu sama lain.
Namun, sayangnya, permainan yang sarat makna ini kini mulai memudar, terutama di tengah hiruk-pikuk kota besar. Pergeseran minat anak-anak ke dunia digital menjadi salah satu penyebab hilangnya tradisi indah ini, membuat kita merindukan kembali masa-masa ceria tersebut.
5. Berkeliling Membangunkan Sahur
Di tengah suasana Ramadan yang penuh berkah, tradisi membangunkan sahur dengan kentongan, drum bekas, atau alat seadanya menjadi momen yang penuh keceriaan. Anak-anak dan remaja berkeliling kampung dengan semangat, meneriakkan "Sahur... sahur!" yang menggema di udara malam, menyatukan masyarakat dan menumbuhkan rasa antusias untuk bangun dini hari.
Namun, seiring waktu, kehangatan kebersamaan ini mulai tergantikan oleh pengumuman masjid yang praktis melalui pengeras suara. Meski lebih efisien, hilangnya momen berharga ini membuat nuansa Ramadan terasa berbeda, seolah ada yang hilang dari keindahan tradisi yang telah mengikat hati komunitas.
6. Jalan-Jalan Setelah Salat Subuh
Setelah melaksanakan salat subuh berjamaah, jalan-jalan menjadi tradisi Ramadan yang penuh keceriaan dan kehangatan. Anak-anak berkeliling kampung, beriringan dengan teman-teman sebaya, sambil menikmati segarnya udara pagi yang masih bersih sebelum mentari muncul.
Aktivitas ini bukan hanya mempererat tali persahabatan, tetapi juga menjadi cara seru untuk mengusir rasa kantuk yang menyelimuti. Sayangnya, dengan kesibukan yang semakin meningkat dan perubahan kebiasaan anak-anak, momen indah ini kini kian jarang terlihat.
7. Bermain Meriam Bambu
Meriam bambu adalah salah satu permainan tradisional yang sangat populer selama Ramadan. Biasanya, anak-anak dan remaja menggunakan bambu besar yang diisi bahan bakar sederhana untuk menciptakan suara letusan keras yang menghibur.
Permainan ini sering dilakukan saat ngabuburit, menciptakan suasana Ramadan yang khas dan penuh keceriaan. Namun, dengan alasan keamanan dan modernisasi, tradisi bermain meriam bambu kini semakin jarang dilakukan.
Mengutip ANTARA, untuk tahun 2025 ini, pemerintah telah menetapkan tanggal libur di bulan Ramadan. Merujuk Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri yang mengatur perihal pembelajaran saat bulan Ramadhan 2025 pada Selasa, libur bulan puasa akan berlangsung pada pekan pertama di tanggal 27 dan 28 Februari serta tanggal 3, 4, dan 5 Maret 2025.
Dengan adanya libur ini, tradisi ramadan yang lama tidak ada bisa kembali dibangkitkan sebagai ajang nostalgia.
8. Mengapa tradisi Ramadan zaman dulu mulai hilang?
9. Apakah tradisi Ramadan zaman dulu masih bisa dilestarikan?
Ya, tradisi Ramadan dapat dilestarikan dengan dukungan komunitas, keluarga, dan pemerintah dalam mengadakan kegiatan yang menghidupkan kembali budaya lokal.
10. Apa manfaat melestarikan tradisi Ramadan?
Melestarikan tradisi Ramadan membantu menjaga nilai kebersamaan, mempererat hubungan sosial, dan memberikan pengalaman budaya kepada generasi muda.
11. Apakah tradisi Ramadan zaman dulu hanya dilakukan di pedesaan?
Tidak, tradisi Ramadan zaman dulu juga dilakukan di perkotaan. Namun, tradisi ini lebih banyak bertahan di pedesaan karena budaya kolektif yang masih kuat.
12. Bagaimana cara mengajarkan tradisi Ramadan kepada generasi muda?
Generasi muda dapat diajarkan tradisi Ramadan melalui kegiatan keluarga, program sekolah, atau acara komunitas yang melibatkan mereka secara langsung.
(Demo kenaikan gaji anggota DPR memanas setelah seorang Ojol bernama Affan Kurniawan menjadi korban. Sederet artis pun ikut menyuarakan kemarahannya!)
(kpl/rmt)
Ricka Milla Suatin
Advertisement