Yuni (Arawinda Kirana) adalah seorang siswi SMA yang cerdas, mandiri, dan penuh semangat. Hidupnya berpusat pada keinginan sederhana tapi penting: melanjutkan pendidikan ke universitas dan membangun masa depan yang ia pilih sendiri. Namun, di lingkungan tempatnya tinggal, keinginan seperti itu tidak selalu dianggap wajar bagi seorang perempuan muda. Saat teman-teman sebayanya mulai menikah, Yuni justru sibuk mengejar beasiswa dan belajar keras demi meraih cita-citanya. Ia percaya bahwa masa depan tidak seharusnya ditentukan oleh tradisi atau tekanan sosial. Tapi keyakinannya mulai goyah ketika dua lamaran datang di usia yang masih sangat muda.

Lamaran pertama datang dari seorang pria yang lebih tua, sementara lamaran kedua berasal dari laki-laki yang juga dikenal keluarganya. Yuni menolak keduanya karena merasa belum siap. Ia ingin kuliah, bukan menikah. Namun, penolakan itu justru menimbulkan gosip di sekitar kampungnya. Orang-orang mulai berbisik dan memperingatkan bahwa jika seorang perempuan menolak lamaran lebih dari dua kali, ia akan sulit menikah selamanya. Tekanan sosial itu semakin kuat, membuat Yuni mulai mempertanyakan pilihannya sendiri. Di tengah rasa ragu, satu-satunya pelarian Yuni adalah sahabat-sahabatnya, Ulfah (Asmara Abigail) dan Suci (Sekar Sari), yang selalu menemaninya melewati masa remaja yang tidak mudah.

Di sekolah, Yuni memiliki hubungan dekat dengan gurunya, Damar (Kevin Ardilova), seorang guru bahasa Indonesia yang memahami cara berpikir Yuni yang kritis dan terbuka. Damar sering memotivasi murid-muridnya untuk bermimpi lebih tinggi, bahkan ketika lingkungan sekitar membatasi mereka. Hubungan antara Yuni dan Damar perlahan tumbuh menjadi kedekatan yang lebih personal, meskipun Yuni tidak pernah benar-benar mengatakannya dengan kata-kata. Namun, hidup Yuni berubah drastis ketika kenyataan pahit menghantamnya. Suci, sahabatnya, mengalami kekerasan yang membuatnya menikah dengan terpaksa. Peristiwa itu mengguncang Yuni dan membuatnya sadar bahwa di dunia tempat ia tinggal, perempuan sering kali tidak punya banyak pilihan selain menyerah pada keadaan.

Ketika lamaran ketiga datang, kali ini dari seseorang yang tampak lebih baik dan berpendidikan, Yuni kembali dihadapkan pada pilihan yang sulit. Di satu sisi, ia ingin tetap mengejar impian kuliah dan membuktikan bahwa perempuan bisa menentukan masa depannya sendiri. Di sisi lain, tekanan keluarga, pandangan masyarakat, dan nasib sahabat-sahabatnya membuat ia mulai mempertimbangkan apakah perjuangannya sepadan. Semua keputusan ada di tangannya, tapi konsekuensinya akan ia tanggung sendiri. Apakah Yuni akan berani melawan takdir yang sudah digariskan untuknya, atau justru menyerah pada kenyataan yang tidak pernah berpihak pada perempuan seperti dirinya?

Penulis Artikel: Anastashia Gabriel