
Rosihan Anwar lebih dikenal sebagai tokoh pers Indonesia, meski dirinya lebih tepat dikatakan sebagai sastrawan bahkan budayawan. Pria kelahiran Kubang Nan Dua, Sumatera Barat itu bergelut di dunia jurnalistik semenjak masa perjuangan.
Rosihan telah hidup dalam 'multi-zaman'. Di masa perjuangan, dirinya pernah disekap oleh penjajah Belanda di Bukitduri, Jakarta Selatan. Kemudian di masa Presiden Soekarno koran miliknya, Pedoman pada 1961 ditutup oleh rezim saat itu. Namun di masa peralihan pemerintah Orde Baru, Rosihan mendapat anugerah sebagai wartawan sejak sebelum Revolusi Indonesia dengan mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra III, bersama tokoh press Jakob Oetama.
Pria yang juga pendiri pendiri Perusahaan Film Nasional (Perfini) bersama (alm) Usmar Ismail pada 1950 itu juga pernah turut mendukung film nasional TJUT NYAK DIEN (1988).
Hingga kini Rosihan tetap aktif sebagai sosok kritis dalam melihat perubahan zaman. Banyak kritik yang ditujukan kepada para pemerintahan yang dilalui dalam masa hidupnya harus menerima kritik pedasnya yang membangung. Termasuk upaya tekanan yang ditujukan pada pers Nasional.
Rosihan telah hidup dalam 'multi-zaman'. Di masa perjuangan, dirinya pernah disekap oleh penjajah Belanda di Bukitduri, Jakarta Selatan. Kemudian di masa Presiden Soekarno koran miliknya, Pedoman pada 1961 ditutup oleh rezim saat itu. Namun di masa peralihan pemerintah Orde Baru, Rosihan mendapat anugerah sebagai wartawan sejak sebelum Revolusi Indonesia dengan mendapatkan anugerah Bintang Mahaputra III, bersama tokoh press Jakob Oetama.
Pria yang juga pendiri pendiri Perusahaan Film Nasional (Perfini) bersama (alm) Usmar Ismail pada 1950 itu juga pernah turut mendukung film nasional TJUT NYAK DIEN (1988).
Hingga kini Rosihan tetap aktif sebagai sosok kritis dalam melihat perubahan zaman. Banyak kritik yang ditujukan kepada para pemerintahan yang dilalui dalam masa hidupnya harus menerima kritik pedasnya yang membangung. Termasuk upaya tekanan yang ditujukan pada pers Nasional.