Pentas MAHADAYA CINTA: Kekuatan Cinta yang Merekatkan Dua Generasi

Penulis: Erlin

Diterbitkan:

Kapanlagi.com - Mahadaya Cinta? Kekuatan cinta? Atau merapuhnya cinta? Bicara cinta memang tak ada habisnya. Semua berhak merasakan cinta dari siapa saja. Tema universal itulah yang diangkat oleh Guruh Soekarnoputra lewat drama musikal MAHADAYA CINTA di Istora Senayan Jakarta, Sabtu (09/07) kemarin.

Karya Guruh yang biasanya glamour dengan taria-tarian dan nyanyian, dalam pentas Mahadaya Cinta itu tampak terekspose habis-habisan. Muncul dengan artis-artis yang baru muncul beberapa tahun belakangan, seperti Tora Soediro, Aming, dipadu dengan artis-artis lawas, Mahadaya Cinta terasa seperti kekuatan cinta yang merekatkan dua generasi.

Pergelaran ini digelar dalam dua kali pementasan, pukul 15.00 WIB dan 20.00 WIB. Wartawan hanya mendapat kesempatan pada pertunjukkan pertama pukul 15.00 WIB.

Molor sekitar sejam dari jadual, pementaran ini diawali dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Lagu yang makin jarang dinyanyikan nih. Sayangnya, kesakralan lagu ini makin lama tampaknya makin berkurang. Buktinya masih banyak yang mondar-mandir dan ngobrol.

Pertunjukan diawali dari tampilan layar monitor besar yang mengambarkan persidangan seorang pejabat yang diperankan Harvey Malaiholo. Harvely dituding korupsi. Vonis korupsi yang dijatuhkan pada ayahnya, membuat Jaka (Tora Sudiro) mengalami keguncangan dalam hidupnya. Sebagai mahasiswa yang ikut aktif di kegaiatan perkumpulan mahasiswa yang menentang praktek KKN, membuat Jaka dijauhi dari temannya. Parahnya, sang kekasih Wulan (Widi AB Three) juga ikut menjauhi Jaka. Karena ia tak ingin perjuangan dirinya bersama temen-teman jadi tercoreng oleh kehadiran Jaka sebagai anak pejabat yang korupsi.

Tak cuma Jaka yang mengalami keguncangan, adiknya Dara juga mengalami keguncangan yang membuatnya terjerumus ke dunia narkoba. Ibu Jaka yang diperankan Dessy Ratnasari juga mengalami depresi berat akibat vonis yang diberikan pada suaminya.

Persoalan yang diangkat dalam pementasan ini memang kental dengan masalah kekinian seperti korupsi. Semua dialog, simbol spanduk, dan perdebatan yang ada, semuanya seperti letupan besar seorang Guruh -yang pernah duduk sebagai legislatif-- untuk menjebol habis soal korupsi itu.

Tapi tampak jelas idealisme Guruh luberi di Mahadaya Cinta ini. Tentu saja menyelipkan sedikit ajaran Bung Karno --yang juga bapaknya-- dalam pementasan ini adalah sah-sah saja.

Pemain yang notabene tidak semuanya bisa menyanyi dan menari, malah terkesan natural. Kalau ada yang kaku dan gerakan kurangluwes, tampaknya bisa dimaklumi.

Penampilan Widi AB Three, Sita, Nina, Dewi Gita, Shania, patut diancungkan jempol. Belum lagi anak-anak AFI yang ikut meramaikan pertunjukan. Semua itu tak lepas dari usaha Didi Petet yang mengemblengnya selama sebulan lebih. Hiburan ini menjadi segar saja.

Tapi toh dalam pertunjukkan ini, ada beberapa nama yang menonjol. Dia adalah Tora Soediro dan Aming. Dua-duanya kebetulan main sebagai komendian dalam salah satu acara telivisi swasta. Tora dengan improvisasinya yang cerdas, sementara Aming dengan kegilaannya yang mengejutkan.

Catatan Mahadaya Cinta lebih kepada koreografi yang tampaknya masih banyak pengulangan. Guruh tampaknya harus mulai bereksplorasi lebih dalam mencari bentu-bentuk gerak tari yang lebih luas. Kemudian, tempat di Istora Senayan memang luas, tapi sebagai tempat pergelaran tadi dan musik, masih banyak feedback suara yang menganggu. Repotnya, Indonesia sendiri tidak (belum) punya tempat yan representatif sebagai tempat konser atau pertunjukan.

Terlepas dari kelemahan yang ada, Mahadaya Cinta meletakkan cinta pada kekuatan yang sesungguhnya. Membebaskan yang tertindas.

(Ashanty berseteru dengan mantan karyawannya, dirinya bahkan sampai dilaporkan ke pihak berwajib.)

(tbg/erl)

Editor:

Erlin

Rekomendasi
Trending