Rangkaian Ritual Penting Pernikahan Kraton GKR Hayu - KPH Notonegoro (I)

Penulis: Dewi Ratna

Diperbarui: Diterbitkan:

Rangkaian Ritual Penting Pernikahan Kraton GKR Hayu - KPH Notonegoro (I)
©kratonwedding.com

Kapanlagi.com - Jika di Inggris ada yang namanya Royal Wedding, tak kalah megah, Indonesia juga punya Pernikahan Kraton. Merupakan serangkaian ritual-ritual adat Jawa, pernikahan ini mengandung nilai kebudayaan yang sangat tinggi.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, kali ini pihak keraton tak lagi meliburkan anak sekolah maupun kantor-kantor yang berada di Yogyakarta. Namun prosesi menjelang pernikahan, hingga harinya, tetap sama seperti yang sudah-sudah.
Meski resepsi pernikahan GKR Hayu dengan KPH Notonegoro digelar pada Rabu, 23 Oktober 2013, namun prosesinya sudah dimulai jauh hari sebelumnya. Kapan, apa saja, dan bagaimana rangkaiannya? Mari simak halaman berikut ini...

1. Nyekar, Wujud Bakti Pada Leluhur

©kratonwedding.com

Minggu, 13 Oktober 2013, pasangan GKR Hayu dan KPH Notonegoro pergi ke makam Panembahan Senopati dan Sultan Agung untuk nyekar atau dalam Bahasa Indonesia biasa disebut ziarah. Mereka mengenakan pakaian adat untuk ritual yang satu ini.

Calon mempelai wanitanya mengenakan kebaya, sedangkan calon mempelai pria mengenakan baju peranakan. Bukan tanpa maksud, pakaian ini merupakan wujud laku budaya, dan sekaligus diharapkan dapat menambah kekhusyukan saat berdoa.

©kratonwedding

Nyekar sendiri merupakan tradisi mengunjungi makam para leluhur yang lebih dulu meninggalkan keluarganya. Ketika akan menggelar hajat pernikahan, Kraton Yogyakarta tidak pernah lupa melakukan tradisi ini.

Seperti disadur dari website resmi kratonwedding, nyekar ini dilakukan sebelum hari pernikahan tiba. Biasanya calon pengantin pergi nyekar sebelum upacara Wisuda Nama, dan sebelum hari H pernikahan.

Nyekar sebelum upacara Wisuda Nama, dilakukan dengan mengunjungi makam-makam leluhur yang dulu memiliki nama yang bakal dipakai oleh kedua mempelai nantinya.

Sedangkan Nyekar yang dilakukan sebelum hari H pernikahan, tujuannya adalah untuk berdoa kepada Tuhan sekaligus mengirim doa dan mendoakan leluhur tersebut agar diampuni segala dosa-dosanya dan diberi tempat terbaik di sisi Tuhan.

Tak sembarangan, ada hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam ritual ini. Urutan kunjungan tidak boleh diubah-ubah. Dimulai dari Panembahan Senopati di Kotagede, lalu menuju makam Sultan Agung yang terletak di Imogiri.

Saat nyekar, doa dipimpin oleh Abdi Dalem. Setelah itu, seperti orang berziarah pada umumnya, baru dilanjutkan dengan menaburkan bunga di atas makam yang dilakukan oleh kedua calon mempelai.

(Ammar Zoni dipindah ke Nusakambangan dan mengaku diperlakukan bak teroris.)

2. Nyantri, Mengenalkan Kehidupan Kraton

©kratonwedding.com

Bukan merupakan anggota dari Kraton Yogyakarta, mempelai pria tentu saja harus berkenalan dengan apa saja yang ada di dalamnya. Untuk itu, ada prosesi khusus untuk memperkenalkannya, sebelum hari pernikahan tiba.

Digelar pada 21 Oktober 2013, pukul 09.00 di Bangsal Kasatriyan & Sekar Kedhaton, KPH Notonegoro diajari bagaimana hidup sebagai anggota keluarga Kraton Yogyakarta.

"Nyantri ini diibaratkan sebagai training center bagi calon menantu Kraton," ungkap KRT Pujaningrat saat ditemui di kediamannya di kawasan Mangkubumen, seperti yang disadur dari website resmi kratonwedding.

Selain untuk berkenalan dengan kehidupan di Kraton, Nyantri juga dilakukan untuk mengetahui keseharian calon mempelai pria. Segala perilaku dan tindak-tanduknya akan menjadi tolak ukur penilaian oleh Kraton.

©kratonwedding.com

Jika mengikuti aturan awalnya, prosesi Nyantri ini dilaksanakan selama 40 hari. Namun sejak era Sultan Hamengku Buwono IX, prosesnya dipersingkat, karena Kraton memahami dan memberikan toleransi jika calon menantu memiliki kegiatan lain.

Selain itu, dulu yang memberi latihan bagi calon menantu adalah Pepatih Dalem. Kini, setelah posisi Pepatih Dalem ditiadakan, yang melatih saat prosesi Nyantri digantikan oleh sesepuh Kraton yang ditunjuk oleh Sultan.

KPH Notonegoro sendiri menjalani prosesi Nyantri hanya selama satu hari. Di sini ia diajarkan adat-istiadat yang ada di Kraton, seperti cara berbahasa Jawa dengan Sultan, cara menyembah, dan ngapu rancang (gesture tubuh ala Jawa).

Prosesi Nyantri ini diawali dari Mangkubumen, sebuah bangunan Kraton yang saat ini digunakan Universitas Widya Mataram sebagai bangunan kampus. Letaknya di sebelah barat Kraton Yogyakarta.

Dari sini, calon mempelai pria dan keluarganya dijemput oleh Utusan Dalem dari Kraton untuk menempati Bangsal Kasatriyan, dengan beberapa kereta kuda. Perjalanan itu juga diiringi oleh pasukan berkuda.

Di Bangsal Kasatriyan, calon mempelai pria sudah ditunggu oleh para pangeran. Mulai saat itu, sampai Ijab Kabul, calon mempelai pria tinggal di Bangsal Kasatriyan. Sedangkan calon mempelai wanita berada di Sekar Kedhaton untuk mempersiapkan diri.

Saat prosesi Nyantri ini pula, utusan dari lima Kabupaten yang ada di DIY (Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulonprogo, dan Kota Yogyakarta) mempersembahkan perlengkapan berupa hasil bumi untuk prosesi pemasangan Tarub dan Bleketepe pada Kraton.

Calon mempelai wanita juga melakukan prosesi Nyantri. Namun, prosesnya berbeda dengan nyantri untuk calon mempelai pria. Nyantri ini adalah sebagai persiapan calon mempelai wanita untuk menghadapi pernikahan.

3. Siraman, Simbol Menyucikan Diri

©kratonwedding.com

Di hari dan waktu yang sama dengan prosesi Nyantri, digelar juga upacara Siraman. Bangsal Kasatriyan dan Sekar Kedhaton pun menjadi tempat di mana dua calon pengantin menjalani ritual tersebut.

Siraman sendiri berasal dari kata siram yang berarti mandi. Siraman berarti memandikan calon mempelai yang disertai dengan niat membersihkan diri agar menjadi bersih dan murni atau suci lahir dan batin.

Calon mempelai wanita duduk di kamar mandi di Bangsal Sekar Kedhaton dengan kemben dan rangkaian bunga melati membalut tubuhnya. Seorang Nyai Penghulu lalu memanjatkan doa, meminta karunia dari Sang Maha Kuasa.

Air yang digunakan untuk Siraman sangat spesial. Diambil dari tujuh mata air yang ada di lingkungan Kraton, air tersebut ditaburi kembang setaman, yakni roncean bunga-bunga.

©kratonwedding.com

Setelah siap di dalam kuali besar, air ini kemudian diguyurkan ke tubuh calon mempelai wanita dengan gayung kecil. Guyuran pertama dilakukan oleh sang ibu, lalu disusul oleh sesepuh keluarga Kraton.

Setelah disirami, calon mempelai wanita kemudian berwudhu menggunakan air yang ada di dalam kendi. Kendi tersebut kemudian dipecahkan di depan calon mempelai wanita.

Bukan tanpa maksud, pecahnya kendi ini adalah sebagai simbol pecah pamor, yakni keluarnya pesona dari calon mempelai. Setelahnya, diharapkan calon mempelai tersebut semakin cantik dan membuat setiap orang tidak mengenalinya.

Selesai disiram air kembang, upacara dilanjutkan dengan merias diri. Kegiatan ini dilakukan di emper Sekar Kedhaton sebelah timur. Salah satu proses merias yang dilakukan adalah mengerik rambut dahi calon mempelai perempuan.

Apapun yang dilakukan dalam ritual ini, tentu saja punya makna, termasuk mengerik rambut. Hal ini merupakan simbol dari pembersihan diri dari hal-hal buruk.

Sementara itu, air dari tujuh mata air yang digunakan untuk calon mempelai putri tadi diantarkan oleh salah satu putri Sultan yang sudah menikah ke kamar mandi di Bangsal Kasatriyan. Air ini digunakan untuk upacara Siraman calon mempelai pria.

Di Bangsal Kasatriyan, calon mempelai pria bersama keluarga dan rombongan sudah menunggu. Siraman dilakukan oleh ibu calon mempelai wanita, ibu calon mempelai pria, dan sesepuh-sesepuh lainnya. Urutannya sama seperti yang calon mempelai wanita.

Seperti disadur dari website resmi kratonwedding, upacara Siraman ini semuanya dilakukan oleh wanita. Ada alasan tersendiri untuk ini. Para wanita dianggap merupakan ibu yang merawat anak-anak.

Jumlah orang yang menyirami harus berjumlah ganjil. Jumlah ganjil ini diambil dari kepercayaan Hindu yang melambangkan Trimurti (Brahma, Wisnu, Syiwa) yang juga dipercaya dapat menolak bala.

Siraman ini dilakukan sebagai simbol menyucikan diri. KArena menikah merupakan sebagai babak baru dalam kehidupan manusia, maka dengan ritual ini diharapkan dapat menjadikan seseorang bersih secara jasmani maupun batin.

4. Majang Pasareyan, Tarub, & Bleketepe

©kratonwedding.com

Dalam pernikahan adat Jawa ada yang namanya Majang Pasareyan, Tarub, & Bleketepe. Untuk pernikahan GKR Hayu dan KPH Notonegoro sendiri, ritual ini digelar pada 21 Oktober 2013, pukul 10.00 di Gedong Proboyekso, Pagelaran, Kuncung Tratag Bangsal Kencana.

Dalam ritual ini, setiap sudut keraton dihiasi. Prosesi pasang Tarub merupakan tanda jika Kraton Yogyakarta sedang ada hajatan mantu. Tarub yang biasanya dipasang di gapura-gapura Kraton dan Bangsal Kepatihan, digunakan pula untuk sarana tolak bala.

Tarub sendiri terdiri dari pisang, tuwuhan (padi, kelapa dan palawija), serta janur. Tuwuhan dipasang di berbagai gapura, yakni di Pagelaran, Pacikeran, Tarub Agung, Regol Brajanala, Bangsal Ponconiti, Regol Keben, Doorlop Srimenganti, Bangsal Trajumas, Regol Danapertapa, Doorlop Bangsal Kencana, Kuncung Tratag Bangsal Kencana, dan Regol Gepura.

Sementara Bleketepe adalah daun kelapa yang dianyam. Bleketepe dipasang di Kuncung Tratag Bangsal Kencana Wetan.

©kratonwedding

"Bagian-bagian pohon kelapa banyak digunakan dalam prosesi ini. Alasannya adalah karena kelapa dianggap salah satu buah yang berguna, berguna untuk apa saja, baik daunnya, buahnya, maupun batangnya. Dan pohon kelapa itu umurnya panjang. Semua ini diambil makna dan juga sebagai simbol sekaligus doa." tutur KRT Pujaningrat, salah satu Abdi Dalem Kraton Yogyakarta seperti yang disadur dari website resmi kratonwedding.

Bisa dilihat, ketika ada hajat pernikahan, Kraton penuh dengan hiasan janur kelapa yang dianggap sebagai daun indah seperti layaknya cahaya. Dipercaya, janur harus ada di sekitar kita saat merayakan hari-hari yang penting.

Pembuatan ratusan anyaman kelapa ini menjadi momen istimewa. Semua orang, baik mahasiswa sampai ibu-ibu, gotong-royong membuat hiasan Tarub dan Bleketepe ini. Dari sini dapat dilihat betapa besar antusias masyarakat dalam mendukung hajatan Kraton.

Sementara di luar sibuk memasang Tarub dan Bleketepe, pada waktu yang sama ada prosesi Majang Pasareyan, atau menghias kamar pengantin. Kamar calon mempelai perempuan dihias oleh Permaisuri dan putri Sultan yang sudah menikah.

Ketika prosesi Majang Pasareyan ini, kamar dihias dengan berbagai macam kain, bunga, dan juga pernak-pernik. Kain-kain ini memiliki makna tersendiri, di antaranya adalah untuk doa pengharapan, keselamatan, dan juga tolak bala.

5. Tantingan, Menanyakan Kemantapan Hati

©kratonwedding.com

Prosesi yang juga digelar pada tanggal 21 Oktober 2013, pukul 18.30 merupakan lanjutan dari Siraman. Di emper Bangsal Prabayeksa, ritual Tantingan ini menjadi salah satu bagian penting dari rangkaian pernikahan Kraton.

Dalam upacara ini, Sultan didampingi Permaisuri dan putri-putrinya, menanyakan kemantapan hati serta kesiapan calon mempelai wanita untuk menikah dengan pria yang sudah meminangnya.

©kratonwedding.com

Prosesi Tantingan ini disaksikan oleh Penghulu Kraton, Abdi Dalem Pemetakan, dan petugas KUA Kecamatan Kraton. Dulu, upacara ini dijadikan sarana untuk memberitahukan siapa yang akan menikahi putri Sultan.

Dahulu, calon mempelai pria dan calon mempelai wanita belum saling mengenal karena pernikahan dilaksanakan melalui proses perjodohan. Maka, diadakan upacara Tantingan untuk menanyakan kesediaan calon mempelai.

Meski kini sudah tak ada lagi perjodohan dalam keluarga Kraton, namun upacara Tantingan ini tetap dilakukan. Upacara yang dilakukan dengan bahasa Bagongan (bahasa Kraton) ini bertujuan untuk melestarikan kebudayaan Kraton.

6. Midodareni, Menanti Datangnya Bidadari

©kratonwedding.com

Tak berhenti sampai acara Tantingan, prosesi jelang pernikahan masih dilanjutkan dengan ritual Midodareni. Masih di hari yang sama, upacara ini digelar di Bangsal Kasatriyan & Sekar Kedhaton.

Midodareni berasal dari kata widodari, berarti bidadari, yaitu putri dari surga yang sangat cantik dan harum baunya. Midodareni merupakan malam terakhir masa lajang bagi kedua calon mempelai. Mereka ditemani oleh teman dan kerabatnya pada malam itu.

Ritual ini dilakukan di Bangsal Kasatriyan untuk calon mempelai pria, dan di Sekar Kedhaton untuk calon mempelai wanita. Malam tersebut, Sultan mengunjungi kedua calon mempelai sambil meninjau lokasi dan mengecek kelengkapan persiapan acara esoknya.

Sultan bersama Permaisuri serta kerabat menemui calon mempelai pria dan keluarganya di Bangsal Kasatriyan. Di sana, kedua calon besan berbincang, saling mengakrabkan diri. Sultan juga menengok kamar pengantin dan melihat apakah semua sudah beres.

Selesai mengecek persiapan di Bangsal Kasatriyan, Sultan bersama Permaisuri dan rombongan mengunjungi calon mempelai wanita ke Sekar Kedhaton. Di sini Sultan juga melihat kesiapan calon mempelai wanita dan ubarampe untuk pernikahan.

©kratonwedding.com

Pada malam Midodareni, calon mempelai wanita harus tidur setelah jam 12 malam untuk menanti datangnya bidadari. Diprecaya, bidadari ini akan menganugerahkan kecantikan kepada sang calon mempelai.

Upacara Midodareni ini diambil dari cerita Jaka Tarub. Dewi Nawangwulan, seorang bidadari dari khayangan yang memiliki anak seorang manusia, berjanji akan turun ke bumi kelak jika anaknya yang bernama Dewi Nawangsih menikah.

(kra/dew)

Editor:

Dewi Ratna

Rekomendasi
Trending