Lika Liku Industri Musik Nasional (4)
Diperbarui: Diterbitkan:

Kapanlagi.com - Sejatinya, seorang penggemar atau fans (dalam bentuk jamak) memang seharusnya punya idola yang digemari. Berbagai polah dilakukan oleh si penggemar, mulai dari sekadar membeli album, mengoleksi merchandise atau barang apapun yang berkaitan dengan idolanya, sampai yang lebih ekstrim.
Pastinya, menonton konser juga menjadi bagian aksi penggemar. Siapa yang tak mau menyaksikan aksi live idola, di depan mata, bisa melompat dan menyanyikan lagu yang sama? Mau penggemar bertahun-tahun atau berlabel hipster (yang selalu hadir di konser atau acara supaya dianggap gaul), nyatanya konser-konser yang menampilkan artis luar negeri selalu dipadati audiens.
Dari penyanyi pop macam Demi Lovato, band post-rock seperti Sigur Ros, punggawa metal Metallica, sampai pesta EDM (Electronic Dance Music) yang dikomandoi DJ populer seperti Tiesto. Itu belum termasuk berbagai festival musik sepanjang tahun yang biasa mengunggulkan dua atau tiga headliner, jarang sekali konser musik sepi penonton.
Padahal, satu konser mematok harga tiket rata-rata 800 ribu rupiah. Apakah yang nonton benar-benar menyukai, atau sekadar supaya bisa memperbaharui Instagram atau Path? Apapun alasannya, hampir setiap bulan ada saja konser yang diselenggarakan, utamanya di Ibukota.
Beberapa konser menyediakan opening act yang dijadwalkan bermain sebelum sang bintang utama. Opening act itu biasanya nama lokal yang tentu saja sudah cukup punya basis massa, biasanya genre musik yang dimainkan tidak jauh berbeda.
Bila disimak benar, dari beberapa konser yang sudah selesai, terlihat adanya perbedaan kualitas sound antara band pembuka dan yang utama. Biasanya, yang seperti ini memang lolos dari pengamatan, karena publik lebih terfokus pada band utama yang sudah datang jauh-jauh dari luar negeri.
Sebuah kisah unik yang baru saja terjadi bisa menyangkal mitos perlakuan-tak-adil tersebut. Jauh dari hiruk-pikuk Ibukota, di Kukar, Kalimantan, sebuah festival metal menjadi pesta rakyat berjudul Kukar Rockin' Fest. Acara ini telah diselenggarakan selama tiga tahun berturut-turut, dengan penampil internasional monster thrash metal Testament untuk 2014, diadakan pada 9 Maret.
Acara ini mencuat jadi pembicaraan publik musik ketika terjadi 'perebutan' panggung antara Testament dengan Power Metal, legenda metal Indonesia yang mana vokalisnya, Arul, merupakan asli putra daerah Kalimantan. Mungkin memang ada alasan-alasan tak terungkap yang tidak dipahami masyarakat, mungkin ada komunikasi yang tidak tersampaikan dengan baik, namun apapun itu, tindakan Chuck Billy (vokalis Testament) mencabut kabel amplifier di tengah show Power Metal adalah tak dapat ditoleransi.
Power Metal mengalah, 'menyerahkan' panggung pada Testament. Giliran penonton yang mengambil sikap tegas. Yang terjadi kemudian adalah, penonton duduk di tanah sepanjang sekitar 10 lagu Testament. Ini sebuah pernyataan luar biasa. Sebuah sejarah tengah dicatatkan.
Merasa tidak diinginkan, Testament tidak menyelesaikan setlist mereka dan undur diri. Power Metal kembali ke panggung, audiens kembali terbakar. Cerita ini akan selalu diingat, dituturkan turun-temurun, menggarisbawahi nilai bahwa tamu adalah tamu, mereka tidak boleh menginjak harga diri tuan rumah.
Band Bandung The SIGIT juga mempunyai nyali serupa. Trio ini memang dikenal berhasil mengumpulkan basis massa fanatik yang menyebut diri The Insurgent Army. Album dan merchandise The SIGIT selalu habis terjual, meski hanya melalui situs resmi mereka sendiri. Pada 2013 lalu, mereka merayakan setahun tahun eksistensi dengan menggelar konser di tanah kelahiran Bandung. Konser ini sukses dan didatangi The Insurgent Army dari luar kota.
Kalau mau dihitung dan disimak benar, ada begitu banyak band asli Indonesia yang berprestasi dan mempunyai karya-karya sangat layak diapresiasi. Pemikiran tak percaya diri bahwa tak bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri sebaiknya memang disingkirkan jauh-jauh. Di berbagai sisi, semakin banyak penggemar yang bangga membeli produk asli si artis. Lantaran pembajakan nyaris mustahil dihapuskan, kesadaran semacam ini jadi sangat penting.
Ketika penjualan fisik sudah tak lagi dapat diandalkan, artis harus pandai-pandai memutar otak dan berkreativitas. Sementara penggemar selayaknya menghargai kreativitas tersebut, karena justru ide itu yang mahal. Dari sana, yang lokal pun bisa menjadi raja di rumah sendiri. Mau bergabung?
(Festival Pestapora 2025 dipenuhi kontroversi, sederet band tiba-tiba memutuskan untuk CANCEL penampilannya.)
(kpl/rea/adb)
Renata Angelica
Advertisement