Menikah di Bulan Safar Menurut Primbon Jawa: Mitos dan Fakta

Penulis: Editor KapanLagi.com

Diperbarui: Diterbitkan:

Menikah di Bulan Safar Menurut Primbon Jawa: Mitos dan Fakta
menikah di bulan safar menurut primbon jawa (credit: AI pict)
menikah di bulan safar menurut primbon jawamenikah di bulan safar menurut primbon jawa

Menikah di Bulan Safar Menurut Primbon Jawa: Mitos dan Fakta

Bulan Safar dalam penanggalan Hijriah sering dikaitkan dengan berbagai mitos dan kepercayaan, khususnya terkait pernikahan. Bagi sebagian masyarakat Jawa, terdapat anggapan bahwa menikah di bulan Safar dapat membawa kesialan atau dampak buruk bagi pasangan. Namun, benarkah demikian? Mari kita telaah lebih dalam mengenai menikah di bulan Safar menurut primbon Jawa, serta pandangan Islam dan ilmiah tentang hal ini.

1. Pengertian Primbon Jawa dan Signifikansinya dalam Pernikahan

Primbon Jawa merupakan kumpulan pengetahuan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun dalam masyarakat Jawa. Kitab ini berisi berbagai macam perhitungan dan ramalan yang digunakan sebagai pedoman dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam menentukan waktu yang baik untuk melangsungkan pernikahan.

Dalam konteks pernikahan, primbon Jawa memiliki peran yang sangat penting bagi sebagian masyarakat. Mereka meyakini bahwa pemilihan waktu yang tepat untuk menikah dapat mempengaruhi keharmonisan dan keberlangsungan rumah tangga di masa depan. Oleh karena itu, banyak pasangan yang masih menganut tradisi ini akan berkonsultasi dengan sesepuh atau ahli primbon sebelum menentukan tanggal pernikahan mereka.

Signifikansi primbon dalam pernikahan Jawa tidak hanya terbatas pada pemilihan bulan yang baik. Primbon juga digunakan untuk menghitung kecocokan pasangan berdasarkan weton (hari kelahiran menurut penanggalan Jawa), menentukan hari baik untuk lamaran, serta berbagai ritual dan upacara adat yang menyertai prosesi pernikahan.

2. Mitos Seputar Menikah di Bulan Safar

Terdapat beberapa mitos yang beredar di masyarakat terkait menikah di bulan Safar. Berikut adalah beberapa mitos yang sering kita dengar:

  • Pasangan yang menikah di bulan Safar akan sering mengalami pertengkaran dan ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
  • Menikah di bulan Safar dapat membawa kesialan dan musibah bagi pasangan pengantin.
  • Kehidupan ekonomi pasangan yang menikah di bulan Safar akan selalu kekurangan dan dililit hutang.
  • Anak-anak yang lahir dari pernikahan di bulan Safar akan mengalami nasib buruk atau kesulitan dalam hidupnya.
  • Salah satu dari pasangan yang menikah di bulan Safar dipercaya akan meninggal dunia lebih cepat.

Penting untuk diingat bahwa mitos-mitos ini tidak memiliki dasar ilmiah dan seringkali bertentangan dengan ajaran agama. Mitos-mitos tersebut lebih merupakan hasil dari kepercayaan turun-temurun yang belum tentu kebenarannya.

3. Pandangan Islam tentang Menikah di Bulan Safar

Dalam ajaran Islam, tidak ada larangan khusus untuk menikah di bulan Safar atau bulan-bulan tertentu lainnya. Islam mengajarkan bahwa pernikahan adalah ibadah dan dapat dilakukan kapan saja selama syarat dan rukunnya terpenuhi. Beberapa poin penting terkait pandangan Islam tentang hal ini:

  • Tidak ada hadits shahih yang melarang pernikahan di bulan Safar.
  • Islam menganjurkan untuk mempermudah pernikahan, bukan mempersulit dengan batasan-batasan waktu tertentu.
  • Keberhasilan pernikahan bergantung pada iman, akhlak, dan usaha pasangan, bukan pada waktu pelaksanaannya.
  • Mempercayai mitos tentang bulan Safar dapat mengarah pada praktik tahayul yang dilarang dalam Islam.

Beberapa ulama bahkan menegaskan bahwa Rasulullah SAW pernah menikahkan putrinya, Fatimah, dengan Ali bin Abi Thalib pada bulan Safar. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada masalah dalam melaksanakan pernikahan di bulan tersebut.

4. Pandangan Ilmiah tentang Pemilihan Waktu Pernikahan

Dari sudut pandang ilmiah, tidak ada korelasi antara waktu pernikahan dengan keberhasilan atau kegagalan rumah tangga. Keberhasilan pernikahan lebih ditentukan oleh faktor-faktor seperti:

  • Kematangan emosional pasangan
  • Kemampuan berkomunikasi dan menyelesaikan konflik
  • Kesiapan finansial dan mental
  • Dukungan keluarga dan lingkungan sosial
  • Kesamaan visi dan misi dalam membangun rumah tangga
  • Kemampuan beradaptasi dan saling memahami

Para psikolog dan konselor pernikahan menekankan bahwa fokus utama pasangan seharusnya pada persiapan diri dan hubungan, bukan pada pemilihan waktu berdasarkan mitos atau kepercayaan tertentu.

5. Bulan-bulan yang Dianggap Baik untuk Menikah Menurut Primbon Jawa

Meskipun bulan Safar dianggap kurang baik, primbon Jawa menyebutkan beberapa bulan yang dianggap baik untuk melangsungkan pernikahan. Berikut adalah penjelasan mengenai bulan-bulan tersebut:

1. Bulan Jumadil Akhir

Jumadil Akhir merupakan bulan keenam dalam penanggalan Hijriah dan dianggap sebagai salah satu bulan terbaik untuk menikah menurut primbon Jawa. Pasangan yang menikah di bulan ini dipercaya akan mendapatkan keberkahan berupa rezeki yang melimpah dan kehidupan rumah tangga yang harmonis.

Filosofi di balik pemilihan bulan Jumadil Akhir adalah keyakinan bahwa bulan ini membawa energi positif yang dapat mendukung terbentuknya ikatan pernikahan yang kuat. Pasangan yang menikah di bulan ini diharapkan dapat saling mencintai dengan tulus, setia, dan mampu mengatasi berbagai tantangan dalam rumah tangga dengan bijaksana.

2. Bulan Rajab

Rajab, bulan ketujuh dalam kalender Hijriah, juga dianggap sebagai waktu yang sangat baik untuk melangsungkan pernikahan. Menurut primbon Jawa, pasangan yang menikah di bulan Rajab akan dikaruniai keselamatan, keberkahan, dan kemudahan dalam menjalani kehidupan berumah tangga.

Selain itu, bulan Rajab dipercaya membawa keberuntungan dalam hal keturunan. Pasangan yang menikah di bulan ini diharapkan akan dikaruniai anak-anak yang sehat dan berbakti kepada orang tua. Bulan Rajab juga diyakini dapat membawa kesuksesan dalam usaha atau bisnis yang dijalankan oleh pasangan tersebut.

3. Bulan Ruwah

Bulan Ruwah, yang juga dikenal sebagai bulan Sya'ban dalam kalender Hijriah, merupakan bulan kedelapan yang dianggap baik untuk menikah. Primbon Jawa menyebutkan bahwa pasangan yang menikah di bulan ini akan mendapatkan kedamaian, ketentraman, dan keselamatan dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

Filosofi di balik pemilihan bulan Ruwah adalah keyakinan bahwa bulan ini membawa energi spiritual yang kuat. Pasangan yang menikah di bulan Ruwah diharapkan dapat membangun rumah tangga yang dilandasi nilai-nilai agama dan moral yang kuat, sehingga terhindar dari fitnah dan godaan yang dapat merusak hubungan mereka.

4. Bulan Besar (Dzulhijjah)

Bulan Besar atau Dzulhijjah merupakan bulan terakhir dalam kalender Hijriah dan juga dianggap sebagai waktu yang baik untuk melangsungkan pernikahan. Menurut primbon Jawa, pasangan yang menikah di bulan ini akan mendapatkan keberkahan berupa rezeki yang melimpah dan kebahagiaan yang langgeng dalam rumah tangga mereka.

Pemilihan bulan Besar sebagai waktu yang baik untuk menikah juga terkait dengan momentum ibadah haji yang dilaksanakan pada bulan ini. Dipercaya bahwa energi spiritual yang kuat pada bulan Dzulhijjah dapat memberikan pengaruh positif bagi pasangan yang memulai kehidupan rumah tangga mereka.

6. Cara Menghitung Bulan yang Baik untuk Menikah Menurut Primbon Jawa

Bagi yang masih ingin mengikuti tradisi primbon Jawa dalam menentukan waktu pernikahan, berikut adalah langkah-langkah umum yang biasanya dilakukan:

  1. Menentukan weton (hari kelahiran) kedua calon pengantin berdasarkan penanggalan Jawa.
  2. Menghitung neptu (nilai numerologi) dari weton masing-masing calon pengantin.
  3. Menjumlahkan neptu kedua calon pengantin.
  4. Mencocokkan hasil penjumlahan dengan tabel primbon untuk menentukan bulan yang baik.
  5. Mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti hari nahas dan pasaran.

Penting untuk dicatat bahwa proses penghitungan ini cukup kompleks dan biasanya dilakukan oleh ahli primbon atau sesepuh yang memahami seluk-beluk perhitungan Jawa. Bagi yang tertarik, disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli yang terpercaya.

7. Tradisi dan Ritual yang Menyertai Pemilihan Waktu Pernikahan

Dalam budaya Jawa, pemilihan waktu pernikahan seringkali disertai dengan berbagai tradisi dan ritual. Beberapa di antaranya adalah:

1. Nontoni

Nontoni adalah tahap awal dalam proses perjodohan, di mana keluarga calon pengantin pria berkunjung ke rumah calon pengantin wanita untuk melihat dan mengenal lebih dekat. Proses ini biasanya dilakukan pada hari yang dianggap baik menurut perhitungan primbon.

2. Lamaran

Setelah nontoni, dilanjutkan dengan lamaran resmi. Dalam tradisi Jawa, lamaran juga harus dilakukan pada hari dan tanggal yang dianggap baik menurut perhitungan primbon. Proses ini melibatkan penyerahan cincin atau barang berharga lainnya sebagai simbol ikatan.

3. Peningsetan

Peningsetan adalah upacara pertunangan dalam adat Jawa, di mana kedua keluarga bertukar cincin atau barang berharga lainnya sebagai tanda ikatan. Waktu pelaksanaan peningsetan juga dipilih berdasarkan perhitungan primbon.

4. Siraman

Siraman adalah ritual mandi yang dilakukan sehari sebelum akad nikah. Ritual ini melambangkan penyucian diri calon pengantin sebelum memasuki kehidupan baru. Air yang digunakan untuk siraman biasanya dicampur dengan bunga-bunga tertentu yang dianggap memiliki makna simbolis.

5. Midodareni

Midodareni adalah malam sebelum akad nikah, di mana calon pengantin wanita berdiam diri di kamar dan tidak boleh ditemui oleh calon pengantin pria. Malam ini dianggap sebagai waktu untuk introspeksi dan persiapan spiritual menjelang pernikahan.

8. Pengaruh Modernisasi terhadap Tradisi Pemilihan Waktu Pernikahan

Seiring dengan perkembangan zaman, tradisi pemilihan waktu pernikahan berdasarkan primbon Jawa mengalami berbagai perubahan dan adaptasi. Beberapa pengaruh modernisasi terhadap tradisi ini antara lain:

1. Fleksibilitas dalam Penerapan

Banyak pasangan muda Jawa yang masih menghormati tradisi, namun menerapkannya dengan lebih fleksibel. Mereka mungkin tetap berkonsultasi dengan ahli primbon, tetapi juga mempertimbangkan faktor-faktor praktis seperti ketersediaan tempat resepsi atau jadwal kerja dalam menentukan tanggal pernikahan.

2. Integrasi dengan Teknologi

Perkembangan teknologi telah memungkinkan akses yang lebih mudah terhadap informasi tentang primbon dan perhitungan hari baik. Banyak aplikasi dan situs web yang menyediakan layanan perhitungan hari baik untuk menikah berdasarkan primbon Jawa, meskipun keakuratannya masih diperdebatkan.

3. Reinterpretasi Makna

Beberapa pasangan muda mencoba untuk mereinterpretasi makna di balik tradisi pemilihan waktu pernikahan. Mereka mungkin tetap mengikuti tradisi, tetapi dengan pemahaman yang lebih simbolis dan filosofis daripada literal. Misalnya, mereka mungkin melihat proses pemilihan waktu sebagai kesempatan untuk refleksi dan persiapan mental, bukan sebagai penentu nasib pernikahan mereka.

9. Tantangan dalam Mempertahankan Tradisi Pemilihan Waktu Pernikahan

Meskipun masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat, tradisi pemilihan waktu pernikahan berdasarkan primbon Jawa menghadapi beberapa tantangan dalam era modern ini:

1. Benturan dengan Kepercayaan Agama

Bagi sebagian orang, tradisi pemilihan waktu pernikahan berdasarkan primbon dianggap bertentangan dengan ajaran agama, terutama Islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesia. Hal ini dapat menimbulkan dilema bagi pasangan yang ingin menghormati tradisi sekaligus mematuhi ajaran agama mereka.

2. Kesulitan Praktis

Dalam kehidupan modern yang serba cepat, seringkali sulit untuk menyesuaikan jadwal pernikahan dengan bulan yang dianggap baik menurut primbon. Hal ini terutama berlaku bagi pasangan yang bekerja atau tinggal di luar daerah, di mana mereka harus menyesuaikan dengan jadwal cuti atau ketersediaan tempat.

3. Kurangnya Pemahaman

Banyak generasi muda yang kurang memahami filosofi dan makna di balik tradisi pemilihan waktu pernikahan. Hal ini dapat menyebabkan tradisi tersebut dianggap kuno atau tidak relevan dengan kehidupan modern. Tantangan ini memerlukan upaya edukasi dan pelestarian budaya yang lebih intensif.

10. Cara Menyikapi Perbedaan Pandangan tentang Pemilihan Waktu Pernikahan

Mengingat adanya perbedaan pandangan mengenai tradisi pemilihan waktu pernikahan, penting bagi pasangan dan keluarga untuk menyikapinya dengan bijaksana. Beberapa saran dalam menyikapi perbedaan pandangan ini antara lain:

1. Komunikasi Terbuka

Pasangan dan keluarga perlu melakukan komunikasi terbuka untuk membahas pandangan masing-masing tentang tradisi ini. Penting untuk saling menghargai dan memahami latar belakang kepercayaan atau pemikiran yang berbeda. Diskusi yang terbuka dan jujur dapat membantu mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak.

2. Mencari Jalan Tengah

Jika terdapat perbedaan pandangan, cobalah untuk mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh semua pihak. Misalnya, tetap melakukan perhitungan hari baik sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi, namun tidak menjadikannya sebagai faktor penentu utama dalam pemilihan tanggal pernikahan. Fleksibilitas dan kompromi seringkali menjadi kunci dalam menyelesaikan perbedaan pandangan.

3. Fokus pada Esensi Pernikahan

Yang terpenting adalah mengingatkan diri bahwa esensi pernikahan bukan terletak pada pemilihan bulan atau tanggal, melainkan pada komitmen dan kasih sayang antara pasangan. Fokus pada persiapan mental dan spiritual untuk memasuki kehidupan pernikahan jauh lebih penting daripada perdebatan mengenai bulan yang baik untuk menikah.

11. Kesimpulan

Tradisi pemilihan waktu pernikahan berdasarkan primbon Jawa, termasuk pandangan tentang menikah di bulan Safar, merupakan warisan budaya yang masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat. Meskipun menghadapi berbagai tantangan di era modern, tradisi ini tetap memiliki makna dan nilai filosofis yang dalam bagi mereka yang mempercayainya.

Namun, penting untuk diingat bahwa keberhasilan sebuah pernikahan tidak semata-mata ditentukan oleh pemilihan bulan atau tanggal. Faktor-faktor seperti kesiapan mental, kedewasaan emosional, dan komitmen pasangan jauh lebih menentukan dalam membangun rumah tangga yang harmonis dan langgeng.

Bagi pasangan yang ingin menghormati tradisi ini, penting untuk memaknainya dengan bijaksana dan tidak menjadikannya sebagai dogma yang kaku. Sebaliknya, tradisi pemilihan waktu pernikahan dapat dilihat sebagai salah satu cara untuk mempersiapkan diri secara mental dan spiritual dalam memasuki babak baru kehidupan.

Yang terpenting adalah bagaimana pasangan menjalani kehidupan pernikahan mereka dengan penuh cinta, pengertian, dan komitmen, terlepas dari bulan atau tanggal pernikahan yang dipilih. Dengan pemahaman yang tepat dan sikap yang bijaksana, tradisi dan modernitas dapat berjalan beriringan dalam membangun rumah tangga yang bahagia dan harmonis.

Rekomendasi
Trending