Fenomena Kebangkitan Era 90-an di Kalangan Gen Z, Dari Sheila on 7 hingga Kamera Analog
Diperbarui: Diterbitkan:

Sheila on 7 © instagram.com/pakduta
Kapanlagi.com - Tren kebangkitan budaya era 90-an tengah melanda generasi Z. Fenomena ini terlihat dari banyaknya anak muda yang kini kembali menikmati musik-musik lawas seperti Sheila on 7, mengenakan jaket boomer, hingga menggunakan kamera analog untuk mengabadikan momen mereka.
Media sosial pun turut dipenuhi oleh konten bertema retro, mulai dari outfit of the day (OOTD) bernuansa tahun 90-an hingga filter foto yang menyerupai hasil cetakan film kamera roll.
Tak hanya dari segi penampilan dan hobi, tren ini juga turut mempengaruhi gaya hidup dan cara Gen Z bersosialisasi. Mereka mulai menjauhi kehidupan digital yang serba instan dengan memilih aktivitas yang lebih "tactile" atau bersentuhan langsung, seperti menulis di jurnal fisik, mendengarkan musik melalui kaset, atau nongkrong di tempat-tempat yang menyuguhkan nuansa lawas.
Advertisement
1. Nostalgia Pinjaman
Seperti dilaporkan The Guardian dan Vox, tren semacam ini disebut sebagai bagian dari fenomena global yang dikenal sebagai “borrowed nostalgia” atau nostalgia pinjaman—di mana seseorang merindukan masa lalu yang sebenarnya tidak mereka alami secara langsung.
Borrowed nostalgia ini dipicu oleh keinginan untuk merasakan “kehangatan” masa lalu yang dianggap lebih sederhana dan menenangkan dibandingkan dunia modern yang penuh tekanan dan distraksi digital.
Menurut psikolog klinis Dr. Krystine Batcho dalam wawancaranya dengan Time Magazine (2023), nostalgia semacam ini bisa berfungsi sebagai bentuk pelarian emosional atau coping mechanism. Banyak Gen Z yang menghadapi ketidakpastian hidup, terutama setelah pandemi, merasa tertarik pada nilai-nilai dan gaya hidup masa lalu yang terkesan lebih stabil dan less overwhelming.
(Festival Pestapora 2025 dipenuhi kontroversi, sederet band tiba-tiba memutuskan untuk CANCEL penampilannya.)
2. Digital Escapism
Selain sebagai bentuk pelarian, kebangkitan tren era 90-an juga mencerminkan bentuk digital escapism, yaitu usaha untuk menjauhkan diri dari dunia yang terlalu terkoneksi. Dunia digital yang penuh tekanan sosial, notifikasi tak henti, dan tuntutan eksistensi online membuat sebagian anak muda mencari “ruang tenang”.
Dalam laporan yang dimuat oleh BBC Worklife (2022), banyak Gen Z yang mengadopsi kembali kebiasaan dari masa lalu sebagai respons terhadap kelelahan digital (digital fatigue) dan kerinduan akan hidup yang lebih otentik.
Faktor lainnya adalah kebutuhan akan identitas dan komunitas. Dalam era serba cepat dan global ini, banyak anak muda yang merasa kehilangan akar atau keunikan diri. Dengan menghidupkan kembali budaya era 90-an—baik melalui musik, fashion, atau gaya hidup—mereka membentuk identitas baru yang tetap terhubung dengan masa lalu, namun disesuaikan dengan konteks zaman sekarang.
Advertisement
3. Remix Culture
Peneliti budaya pop dari University of Southern California, Henry Jenkins, menyebut fenomena ini sebagai remix culture—di mana generasi baru tidak hanya meniru masa lalu, tetapi menciptakan ulang versi mereka sendiri yang lebih personal.
Tren ini bukan sekadar fase sesaat, melainkan refleksi dari perubahan sosial yang lebih dalam. Dalam wawancara dengan The New York Times (2023), analis tren budaya Amanda Mull menyebutkan bahwa ketertarikan pada era 90-an bisa jadi berakar dari ketidakpuasan terhadap masa kini dan rasa tidak yakin terhadap masa depan.
Dalam ketidakpastian ekonomi, iklim yang memburuk, dan konflik sosial yang meruncing, Gen Z mencari kenyamanan pada hal-hal familiar dan “aman” dari masa lalu—meski hanya melalui lensa romantisasi budaya pop.
(Demo kenaikan gaji anggota DPR memanas setelah seorang Ojol bernama Affan Kurniawan menjadi korban. Sederet artis pun ikut menyuarakan kemarahannya!)
Advertisement