Cinta Settingan Selebriti (3)

Berita Settingan, Media Harus Bagaimana?

Penulis: Editor KapanLagi.com

Diterbitkan:

Berita Settingan, Media Harus Bagaimana? KapanLagi.com®

Kapanlagi.com - Pemberitaan rekayasa atau settingan memang bukan hal aneh lagi di industri tanah air. Beragam alasan pun muncul, salah satunya menaikkan pamor si artis. Terakhir pengakuan Adjie Pangestu yang menyebut bahwa hubungan kasih dengan Bella Shofie adalah settingan belaka. Termasuk hal-hal di dalam hubungan tersebut yang telah diberitakan. Namun pengakuan tersebut disanggah Bella Shofie. Pun dengan manager Bella, Tata Liem.
Karuan pernyataan Adjie ini mengingatkan kembali pada Daus Mini yang membuat berita rekayasa perihal kisruh rumah tangganya lantaran diduga seorang biduan dangdut ingin tenar namanya. Apalagi istri Daus, Yunita Lestari tidak menyangkal adanya kerjasama dengan sejumlah stasiun tivi untuk merekayasa kasus perselingkuhan suaminya dengan pedangdut Merry Amril.
Lantas kenapa fenomena rekayasa pemberitaan terjadi kembali? Bagaimana media menyikapi hal tersebut? Tidakkah kapok para selebriti melakukan hal tersebut? Apakah tak khawatir dengan pandangan masyarakat terhadap perilaku mereka?
Melihat hal ini Ketua Umum Pengurus Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pusat Yadi Hendriana mengatakan pemberitaan yang dilakukan secara rekayasa atau settingan disamakan dengan reality show dan bukan karya jurnalistik.
"Berita itu adalah karya jurnalistik yang tentunya sudah dikonfirmasi kepada narasumber dan berisi rangkaian fakta. Jadi tidak ada istilah berita settingan. Di luar itu mungkin bisa disebut sebagai sebuah reality show karena tidak sesuai dengan fakta namun disesuaikan dengan skenario," ujarnya, Senin (16/12).
Bahkan kepada KapanLagi.com®, ia mempertanyakan nilai berita dalam pemberitaan rekayasa bila ternyata ditayangkan. Karena itu Yadi mengajak pewarta untuk lebih jeli terhadap berita yang akan ditampilkan. Sebab bila tidak dapat saja berita seperti itu menjadi boomerang.
"Bila itu dikatakan sebagai sebuah berita, yang patut dipertanyakan ialah di mana news valuenya? Teman-teman jurnalis hiburan harusnya dapat melihat lebih jeli lagi. Jika berita itu dapat naik atau ditayangkan haruslah memenuhi apa yang menjadi syarat sebuah berita dan yang penting lagi harus ada news valuenya. Bila itu ternyata tidak benar, tidak sesuai dengan fakta itu fitnah namanya. Tapi bila sudah diverifikasi itu sah saja," urainya lagi.
Mengomentari pernyataan Adjie Pangestu dan bantahan Bella Shofie soal rekayasa berita, ia enggan menanggapi lebih dalam. Tetapi Yadi meminta supaya pewarta harus menyertakan fakta yang ada dan membiarkan penilaian pada masyarakat.
"Yang paling mengetahui tahu hubungan mereka itu kan, hanya mereka berdua saja (Bella dan Adjie). Seorang jurnalis harus memberitakan hal tersebut sesuai dengan fakta saja. Sebab seorang jurnalis itu tidak oleh menyimpulkan. Ia harus memberitakan fakta apa adanya. Jadi beberkan saja faktanya. Lewat karya jurnalis tentunya dan biarkan masyarakat yang menilai," jelasnya.
Bahkan baginya sah saja media memberitakan pengakuan Adjie dan sanggahan Bella ini. Asal wartawan tidak mengambil kesimpulan dari masalah yang narasumber hadapi.
"Bila ada media yang memberitakan hal itu, tentunya hal itu sah saja. Toh tidak ada larangan untuk memberitakan. Kalau ada unsure beritanya, ada nilai beritanya. Namun dalam memberitakan perlu diperhatikan agar tidak memberikan kesimpulan supaya apa yang diberitakan tidak misleading," ucap Yadi.
Sedangkan psikolog Dessy Ilsanty mengatakan beragam motivasi orang melakukan rekayasa dalam pemberitaan. Tidak sekedar kurang percaya diri namun dapat juga karena memang ambisi mencapai sesuatu.
"Saya pikir gak selalu kurang percaya diri tapi mungkin ada ambisi. Seperti diketahui saat seseorang punya tujuan maka berbagai cara ditempuh. Tetapi hal ini kembali pada karakter masing-masing orang. Sebab kalau pun pede namun mementingkan harus cepat menyesuaikan dengan lingkungan, bisa saja terjadi. Misalnya kalau idealnya terkenal dua tahun tapi dia pakai cara yang sebelum itu sudah terkenal," bebernya.
Karena itu manusiawi jika orang memperhitungkan untung rugi untuk menjadi terkenal walau menggunakan cara berita settingan. Pasalnya ada pula yang memang memiliki talenta kendati menjalankan pemberitaan rekayasa.
"Yang pasti tiap orang punya idealis masing-masing dan itu menentukan. Sebab kadang ada yang punya talenta walau melakukan rekayasa. Orang berjuang kan sifat alami dan berhasil. Karena itu melakukan banyak langkah demi mencapai tujuan," lanjutnya kepada KapanLagi.com®, Senin (16/12).
Namun dampak psikologis juga dapat dialami selebritas yang melakukan pemberitaan rekayasa apalagi tidak sesuai dengan harapan. Tetapi hal tersebut teratasi sesuai pengalaman hidupnya.
"Yang pasti kecewa. Orang menghadapi kecewa tergantung pengalaman hidupnya. Jadi tergantung itu, apakah seseorang dapat menghilangkan kekecewaan dengan cepat atau tidak," terang istri Adrian Maulana ini.
Selain itu ketagihan dalam membuat berita yang di setting dapat saja terjadi pada seseorang. Terutama jika orang tersebut tahan banting untuk mencapai tujuan.
"Mungkin saja. Apalagi kalau terbiasa jatuh bangun. Kalau untuk orang yang positif thinking maka akan bangkit lagi. Justru kalau lihat yang sama pasti akan mengulang," imbuhnya.
Sementara itu sosiolog Ida Ruwaida mengemukakan bahwa dunia hiburan merupakan dunia penuh persaingan. Sehingga para pelaku di dunia hiburan, termasuk para artis, jika ingin survive dan bahkan berkembang perlu strategi menghadapinya.
"Misalnya dengan promosi dan marketing melalui media massa, baik cetak maupun elektronik," katanya.
Selain itu pada dasarnya orang-orang yang bersentuhan dengan dunia entertain mempunyai hubungan timbal balik. Karena tak heran jika mereka saling membantu. Ibarat simbiosis mutualisme.
"Antara pekerja seni, pelaku usaha hiburan dan media massa menjalin relasi yang sifatnya 'fungsional'. Artinya ada hubungan timbal diantara mereka. Ada cost reward/benefit yang dimungkinkan setara. Misalnya media massa merupakan medium yang bisa membantu para artis atau pekerja seni untuk mempublikasikan eksistensi atau kiprah mereka. Sementara media sendiri memandang para artis sebagai 'sumber daya' yang juga berpengaruh pada posisi, kiprah dan image dari media tertentu. Sedangkan pelaku usaha produsen hiburan menempatkan diri sebagai broker sekaligus pemodal, yang basisnya pada pasar," tutur Ida kepada KapanLagi.com®, Senin (16/12).
Karena itu, sambungnya, dalam kondisi demikian, media massa berperan sentral dalam mempopulerkan [memasyarakatkan atau melekatkan figur/seleb tertentu ke masyarakat]. Bahkan di era informasi ini media massa menjadi 'alat yang paling efektif' dalam mempengaruhi opini publik, mempengaruhi selera pasar, membangun pencitraan dan lain-lain, termasuk di dalamnya menaikkan popularitas seseorang dan atau bahkan meruntuhkan popularitas.
"Kasus Luna Maya, Aa Gym, Cut Tary, merupakan sebagian kecil contoh betapa media massa bisa mempopulerkan mereka. Namun pada kondisi tertentu ketika para seleb terkena masalah-masalah 'pidana dan lain-lain', maka media massa juga yang akan lebih awal memberi sanksi sosial, untuk kemudian 'mengubur' figur-figur yang dianggap tidak punya nilai jual lagi. Dalam kondisi demikian, bukan tidak mungkin ada seleb-seleb yang meminta bantuan media massa untuk mendongkrak popularitas mereka. Namun saat para seleb popular, maka media yang mencari berita dan saat media tidak diuntungkan atau merasa dirugikan maka media akan mengabaikan bahkan melupakannya," papar Ida.

(Kondisi Fahmi Bo makin mengkhawatirkan, kini kakinya mengalami sebuah masalah hingga tak bisa digerakkan.)

(kpl/rod/dis/dew)

Rekomendasi
Trending