Fenomena Grupies (3)

Tak Sebebas di Barat, Grupies Indonesia Punya Batas

Penulis: Editor KapanLagi.com

Diperbarui: Diterbitkan:

Tak Sebebas di Barat, Grupies Indonesia Punya Batas KapanLagi.com®

Kapanlagi.com - Ulah penggemar yang mau melakukan apa saja demi dekat dengan pujaannya sudah berlangsung sejak lama. Fenomena ini tidak hanya terjadi di mancanegara, tetapi juga di dalam negeri. Seseorang yang mencari keintiman emosional dan fisik dengan musisi atau selebriti lainnya disebut grupies. Berbeda dengan luar negeri, di mana grupies sampai mau tidur dengan musisi, para grupies dalam negeri memiliki batasan lantaran budaya Timur yang masih diagungkan kendati ada pula yang bertindak aneh.
Abdee, salah satu personil Slank pernah mengalami hal tersebut bersama bandnya. "Ada sih yang aneh-aneh tapi tidak seperti orang tahu grupies di Amerika. Kalo di Indonesia yang kita alami ada yang macem-macem, aneh-aneh. Ada yang nongkrongin hotel tempat kita nginep sampai pagi gitu, ada yang ngirimin benda macem boneka ke kita," katanya di Potlot, Pasar Minggu, Kamis pekan lalu.
Bahkan ia sendiri pernah mengalami tindakan grupies laki-laki yang menato wajah dirinya di bagian tubuhnya. "Yang terparah, kalo Slank kan fans nya kebanyakan cowok, kalo dibilang grupies juga aneh. Tapi kalo cowok yang terparah itu nato wajah kita di badan mereka, ada juga yang cewek. Gue pernah ngalamin tiba-tiba itu orang nyamperin gue terus nunjukin tato muka gue di tangannya," ucap Abdee geleng-geleng.
Walau pernah mengalami kejadian aneh namun ia tidak pernah melihat ada grupies yang sampai berani meminta tidur bersama. Pasalnya dalam Slank terdapat campur tangan Bunda. Sehingga secara tak langsung kehadiran ibunda Bimbim ini menjadi kontrol bagi semua personil Slank.
"Sejauh ini yang sampai ngikuti kita sampai jadi kru gak ada, biasanya mereka rombongan cowok cewek itu ada. Ada Bunda sih jadi gak mungkin ada cewek di dalam. Ya bisa dibilang begitu, kalo dibilang itu kontrol kita bersyukur, karena selama puluhan tahun kita bisa survive karena ada kontrol," jelasnya lagi.
Selain itu grupies tanah air sendiri, sambungnya, masih kuat dengan pengaruh budaya ketimuran. Sehingga budaya tersebut secara tak langsung dapat membentengi mereka dari tindakan yang sifatnya asusila.
"Karena budaya ya, kita orang Indonesia tergila-gila dengan apapun masih ada batasannya, norma agama masih dikedepankan. Kalo di Barat dia suka, dia bisa telanjang di depan idolanya. Kalo di Indonesia gak ada yang kayak gitu," terang Abdee.
Tetapi di mata mantan personil Gigi, Baron tidak semua grupies mau melakukan hubungan lebih jauh dengan idolanya. Bahkan sebutan grupies di Indonesia sudah hampir hilang sesuai perkembangan zaman. Malah ia menganggap grupies sama dengan penggemar yang fanatik terhadap sang idola. Apalagi kini mereka lebih saling menghargai.
"Grupies is fans. Sekarang bagaimana kita nge-treat, menghargai. Buat gue gak semua grupies, seperti orang bilang, bisa di 'tidurin', bisa dipacarain. Menurut gue grupies bukan itu tapi mereka fans yang fanatik, tapi cewek. Kalo gue llihat grupies seperti itu makin kesini makin berkurang. Sekarang lebih banyak fans, karena lebih berpendidikan," tuturnya.
Bahkan kini, sambung Baron, fenomena grupies baik di dalam maupun di luar negeri sudah hampir tidak ada. Hal tersebut karena kian rapinya sebuah manajemen sebuah band atau musisi. Walau pun ada, itu terjadi pada band-band pemula.
"Di luar negeri juga udah gak ada yang kayak gitu-gitu. Paling band-band pemula yang belum terkenal aja. Kalo band-band yang profesional udah gak ada. Di 60's ada, di 70's masih tapi 80 dan 90-an udah gak ada, karena manajemen semua yang ngatur," katanya, Kamis pekan lalu di Markas Slank, Pasar Minggu, Selatan bagian Jakarta.
Sampai sekarang pun Baron belum pernah merasakan kegilaan yang dilakukan grupies. "Sayangnya gue gak ngerasain, dua album di GIGI gak nyangka albumnya meledak. Setelah gue keluar juga gak ngerasain itu," terangnya singkat.
Soal perlunya penggemar dibatasi berhubungan dengan musisi, ia mengaku tidak keberatan. Namun hal ini menjadi problem bila fans tersebut mengikuti apa yang dilakukan idolanya dan kejadian itu pernah Baron alami.
"As long tidak mengganggu, gak jadi problem. Yang jadi masalah itu kalo ada fans yang fanatik, bahkan mencoba menjadi diri kita. Gue sih gak pernah ngalamin, tapi justru temen lama gue malah nge-fans sama gue, temen gue SMP. Tapi itu justru mengganggu, ternyata dia agak 'miring' (stress)," ujarnya lalu tertawa.
Di mata pengamat musik Bens Leo dengan masih adanya budaya ketimuran maka batasan-batasan grupies dengan idolanya pun terlihat. Hal ini berbeda dengan mancanegara.
"Kalau di Indonesia fans masih punya batasan yang gak selonggar luar negeri. Saya gak tahu kalo misalnya dengan musisi dan fans ketemuan terus gak tahu ke mana. Karena musisi kan banyak, gak satu orang. Selain itu dunia musik ada yang mengawal, seperti menejemen. Sedangkan di luar negeri saya lihat bisa satu kelompok, bisa sendiri-sendiri. Kalo di kita kan gak seterbuka kayak di luar," tuturnya, Selasa (23/7).
Bens melihat selama ini antara fans dengan grupies tidak kentara. "Mereka kecampur fans dan grupies, jadi gak ketahuan karena gak pernah keterbukaan. Tapi jika musisi luar dan grupies di sini mungkin ada. Tapi mungkin mereka tetap dibatasi budaya. Karena dari sisi moralitas beda. Kalo di kita masih ke tempat artis serombongan maka akan sulit sekali bersua idola. Biasanya kalo kita kan hanya bisa di lobby," katanya.
Kendati begitu di tanah air, musisi yang akhirnya menikah dengan penggemar dan bukan grupies itu ada dan terjadi pada sejumlah musisi, salah satunya Bimbim. "Istri Bimbim yang sudah cerai itu dulu penggemar Slank. Jadi bukan grupies. Karena gemar lalu jatuh cinta kemudian menikah," imbuh wartawan musik senior ini.
Dari kaca mata sosiologi, perilaku grupies dapat dikatakan menyimpang. Apalagi tindakan mereka sudah keluar dari norma yang ada.
"Perilaku grupies bisa dikatakan menyimpang (deviant). Perilaku (deviant) menyimpang merupakan perilaku atau tindakan yang melanggar norma-norma sosial. Perilaku yang berlebihan dalam melayani idola seringkali menyimpang dari norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya, masyarakat Indonesia masih memiliki norma bahwa hubungan seksual adalah perilaku bagi pasangan yang terikat pernikahan. Jika perilaku ini dilakukan bukan pada pasangan suami istri maka perilaku tersebut dianggap tidak sesuai dengan norma masyarakat," tutur sosiolog Indera Ratna Pattinasarany kepada KapanLagi.com®, Selasa (23/7).
Soal perilaku grupies, menurutnya, ada yang sengaja dimanfaatkan tapi ada pula yang tidak. Sebab terdapat faktor pencetus seseorang menjadi grupies. "Pertama, faktor pemenuhan kebutuhan untuk memiliki idola. Kedua, faktor meniru perilaku kelompok grupies," sambungnya.
Lalu bagaimana dengan alay-alay yang kerap terlihat di program musik. Apakah itu merupakan cikal bakal grupies abad 21?
"Alay tidak harus identik dengan grupies. Kalau fans kelompok alay tidak berlebihan maka tidak terbentuk grupies," jelas Indera.
Terlepas dari semua itu, kehadiran grupies ada kalanya dibutuhkan oleh si selebritas tersebut. Sebab kehadiran mereka secara tidak langsung dapat memicu proses kreativitas si idola maupun menjadi inspirasi untuk grupies. Namun di sisi lain, jika perilaku grupies sampai berbuat di luar batas sangat tidak elok mengingat masyarakat Indonesia masih memegang adat dan budaya ketimuran.
# Baca juga seri Fenomena Grupies yang berikut ini:
Fenomena Grupies (1): Pengakuan Wanita Yang Pernah Tidur Sekamar Dengan Vokalis Band
Fenomena Grupies (2): Band Indonesia Dengan Grupies, Dikerubuti bule
Fenomena Grupies (3): Tak Sebebas di Barat, Grupies Indonesia Punya Batas
Fenomena Grupies (4): Sejarah Grupies di Indonesia, Sudah Ada Sejak 70-an
Fenomena Grupies (5): Cerita Musisi Yang Pernah Tiduri 1000 Wanita
Fenomena Grupies (6): Lima Ratu Grupies Yang Paling Menggemparkan Dunia

(Rumah tangga Tasya Farasya sedang berada di ujung tanduk. Beauty vlogger itu resmi mengirimkan gugatan cerai pada suaminya.)

(kpl/hen/dis/dew)

Rekomendasi
Trending