Film Lebaran (3)

Ketika Era Komedi Slapstik Sudah Usai
Ketika Era Komedi Slapstik Sudah Usai gambar: istimewa

Kapanlagi.com - Kumpul keluarga saat Lebaran kini dibidik produser film sebagai ajang hiburan sekaligus mengeruk pundi-pundi. Tak heran jika beberapa tahun belakangan para pembuat film seolah berlomba melepas produksi film yang telah dibuat. Fenomena tersebut sebenarnya bukan kali ini terjadi.
Sekitar tahun 80-an, film komedi yang dimainkan Warkop DKI merajai perfilman terutama ketika lebaran. Tetapi seiring waktu, fenomena trio legendaris tersebut mulai tergerus dengan genre lain sejenis (komedi -red), walau banyak tak sesukses Warkop, dan genre di luar itu yang justru menguntungkan dari jumlah penonton.
Semisal film SAUR SEPUH pada 1988. Film kolosal yang diambil dari cerita yang disiarkan radio ini berhasil meraup ratusan ribu penonton. Bahkan dari data Perfin menunjukkan film SAUR SEPUH II yang dilihat pemirsa Jakarta saja mencapai 583.604. Sejak itu muncul sejumlah film dengan genre beragam di bioskop-bioskop saat Lebaran. Malah jumlah penonton pun memperlihatkan kenaikan signifikan.
Berikut data film dari 2007 hingga 2012 dengan jumlah pemirsa terbanyak yang diputar mendekati, saat dan beberapa hari setelah lebaran, diambil dari filmindonesia.or.id : 1. GET MARRIED (2007) : 1,4 juta penonton. 2. LASKAR PELANGI (2008) : 4,6 juta penonton. 3. KETIKA CINTA BERTASBIH 2 (2009) : 2 juta penonton. Bahkan jika diakumulasikan dengan KCB 1 berjumlah 5 juta pemirsa. 4. SANG PENCERAH (2010): 1,2 juta penonton. 5. GET MARRIED 3 (2011): 563 ribu- an penonton, mengalahkan film DI BAWAH LINDUNGAN KABAH yang berbujet 12 M. 6. PERAHU KERTAS (2012) : 588 ribu- an penonton. Sedangkan lebaran tahun ini ada tiga film yakni LA TAHZAN, MOGA BUNDA DISAYANG ALLAH, dan GET MARRIED 4.
Mengenai semakin beragamnya genre film ketika lebaran diakui Firman Bintang. Pelaku industri dan pengamat film ini mengatakan bahwa era komedi slapstik yang dimainkan Warkop telah usai dan diganti genre lain.
"Saya kira era Warkop sudah selesai, itu 20 tahun lalu. Kalau belakang ini gak selalu religi tapi variasi. Bahkan ada lima film beberapa tahun lalu, genre anak-anak, komedi, religi, drama," katanya, Jumat (2/8).
Kendati begitu tidak melulu film dengan genre sama mencetak jumlah penonton besar di hari Raya. Suatu waktu, strategi itu justru tidak maksimal. Sebab itu kini bila ingin menayangkan film, terutama yang satu produksi, dengan genre berlainan dibutuhkan jam tayang tidak sebentar.
"Dulu di 2010, kita anggap banyak tapi hasilnya gak maksimal karena nggak sampai 1 juta. Kini durasi penayangan lebih panjang lebih kurang dua pekan dengan asumsi, jika satu jeblok maka akan dibantu dengan yang lain," jelasnya.
Di sisi lain, genre yang dinilai produser menguntungkan belum tentu terjadi. Misalnya ramai-ramai menayangkan genre komedi. Soal ini kembali pada selera masyarakat dalam hal tontonan.
"Kalau lebaran, selama ini hampir semua berduit sehingga diharapkan keluarga keluar mencari hiburan. Tapi ini justru jadi masalah bagi produser karena anggap mau naik padahal gak juga. Karena itu film Moga Bunda Disayang Allah yang lebih dekat dengan emosi orang Indonesia coba ditampilkan. Tinggal lihat, tema seperti apa kemauan masyarakat. Sebab jika produser salah prediksi akan berakibat anjlok seperti film Di Bawah Lindungan Kabah. Ini kan gak disangka," tutur Firman.
Bahkan karena Lebaran kerap dianggap waktu yang tepat meraih sebanyak-banyaknya penonton maka lebaran juga dijadikan patokan pembuatan film berikutnya. "Lebaran juga dianggap tolak ukur untuk pembuatan film berikutnya. Karena kalau gagal perlu perbaikan satu–dua bulan. Tapi kalau tiga film sukses maka dijadikan patokan genre film sama," ucapnya lagi.
Walau begitu ia mengungkapkan kecenderungan film saat lebaran sebenarnya tidak jauh beda dengan di luar hari Raya dan komedi menjadi fenomena tersendiri. Firman mengingatkan jangan sekali-kali menampilkan genre yang di luar nuansa Lebaran. Karena ini bakal berdampak kurang bagus.
"Kecenderungan film lebaran genre komedi, drama percintaan, religi. Komedi masih tinggi, semisal Get Married sampai 1,2 juta. Selain drama percintaan juga tetap ada karena di atas 4 juta. Namun sehebat-hebatnya komedi gak bisa melampaui drama percintaan. Makanya jika genre komedi merupakan fenomena sendiri yang pasti ada. Sedangkan religi itu sifatnya temporer karena gak bisa masuk di bulan lain. Sementara horor komedi justru hancur," katanya.
Pengamat film Ichwan Persada mengungkapkan bahwa film religi yang belakangan menjadi musiman saat lebaran sebenarnya sudah ada sejak dulu. Tetapi kala itu memang tidak disesuaikan dengan momen hari Raya.
"Kalau religi sebenarnya sudah ada dulu di film Rhoma Irama. Namun sekarang bukan sekadar yang baru juga dengan tema pas. Selain itu fenomena film religi terjadi karena Islam punya potensi besar karena penonton punya tema-tema tertentu, misalnya Ayat Ayat Cinta yang ternyata dilihat ibu-ibu pengajian. Jadi balik ke contentnya," kata Ichwan, Jumat (2/7).
Bahkan ia menganggap film-film yang tayang berdekatan dengan lebaran akan tetap ada asalkan memiliki cerita yang menarik. Apalagi jika market masih meminta film dengan genre yang sama.
"Kalau bikin produk lihat market, misalnya di La Tahzan, ada nilai-nilai Islam di sana. Ceritanya selalu content yang Islam. Jadi produk itu harus melihat market yang dituju. Bahkan produser harus berani mengedukasi penonton. Yang pasti, fenomena lebaran identik dengan film religi masih ada. Karena hari pertama ketemuan sama keluarga. Hari kedua ke mall, nonton, makan. Makanya kecenderungan seperti itu karena mencari hiburan," terangnya.
Karena itu sebenarnya genre apapun film saat Lebaran dapat menarik minat penonton asal disertai cerita bagus. Hal yang sama juga menjadi pemikiran bioskop. "Sebenarnya genre apapun ada market sendiri. Tapi pihak bioskop juga pilih film yang sesuai, misalnya buat lebaran. Nah ada tiga film, LA TAHZAN, MOGA BUNDA DISAYANG ALLAH dan GET MARRIED 4 yang dinilai punya kekuatan menjaring penonton,” urai Ichwan.
Pernah terjadi sebuah film yang ikutan meramaikan nuansa lebaran justru tidak memperoleh penonton seperti diharapkan lantaran content yang kurang baik.
"Jadi sebenarnya balik lagi ke content sehingga masyarakat pun menarik melihatnya. Lagian kalau Di Bawah Lindungan Kabah itu drama biasa tapi dibalut religi. Saya lihat lebih drama karena gak ada religi," imbuhnya.
Kini terlepas dari genre film apa yang bakal dilihat masyarakat, ada baiknya pembuat film tak sekadar mencari rupiah semata tapi juga memberikan suguhan tontonan ringan, menarik dan mengedukasi. Sehingga penonton yang membutuhkan hiburan kala lebaran benar-benar merasa terhibur serta membawa pulang ke rumah sesuatu yang indah.
 
#Baca seri film Lebaran yang lainnya:
Masa Panen Emas Penonton di Indonesia

3 Film Pilihan Tahun Ini

Ketika Era Komedi Slapstik Sudah Usai

(Setelah 8 tahun menikah, Raisa dan Hamish Daud resmi cerai.)

(kpl/dis/dew)

Rekomendasi
Trending