Nia membuat keputusan sulit untuk meninggalkan pulau Fogo, yang terletak di lepas pantai barat Afrika, demi mencari kehidupan yang lebih baik di Eropa. Sebelum berangkat, ia mempercayakan perawatan bayi perempuannya, Nana, kepada para tetangga perempuannya di desa.

Seiring bertambahnya usia, Nana tumbuh dengan kepekaan tinggi terhadap irama alam, dari daratan hingga lautan. Namun, ketika sebuah penyakit misterius menimpanya, Nana terseret ke dalam dunia mimpi yang samar, di mana batas antara ingatan dan mitos, antara alam dan hal gaib, mulai kabur.

Saat sang ibu akhirnya kembali, Nana harus menghadapi pertanyaan besar, apakah ia juga harus berhadapan dengan jarak, baik fisik maupun emosional, yang selama ini merenggangkan hubungan mereka?

Fogo bukan sekadar latar tempat dalam kisah ini, tetapi juga menjadi tokoh utama yang hidup dan berperan penting dalam jalannya cerita. Melalui pandangan yang kental dengan sentuhan realisme magis, sutradara Denise Fernandes menghadirkan keindahan sekaligus keganasan pulau tersebut, dari lautan, hutan yang rimbun, hingga aktivitas vulkanik yang tak terduga.

Fernandes, yang meraih penghargaan Best Emerging Director di Locarno sekaligus mendapat Special Mention dalam First Feature Competition, menggambarkan kefanaan hidup di komunitas terpencil yang terbiasa dengan perpisahan dan jarang merasakan pertemuan kembali.

Setelah delapan tahun proses dari gagasan hingga terwujud, film ini menjadi kisah coming-of-age yang memikat sekaligus tak terlupakan. Dengan keindahan visual dan kedalaman emosional, Hanami, sesuai makna judul Jepangnya, mengajak penonton merenungi keajaiban dari momen-momen indah yang sesungguhnya hanya bersifat sementara.