Lesu di Sejumlah Negara, Hype Olahraga Padel Kian Meredup?

Penulis: Tantri Dwi Rahmawati

Diterbitkan:

Lesu di Sejumlah Negara, Hype Olahraga Padel Kian Meredup?
Hype Olahraga Padel © KapanLagi.com/Adrian Utama Putra

Kapanlagi.com - Padel, olahraga raket yang lahir dari kombinasi tenis dan squash, sempat menjadi fenomena global dalam beberapa tahun terakhir. Dari Eropa hingga Asia, lapangan padel bermunculan. Olahraga ini juga menarik perhatian selebritas, influencer, hingga kalangan pebisnis.

Namun, laporan terbaru dari Swedia memberi sinyal bahwa hype padel bisa jadi mulai meredup di beberapa negara, bahkan sampai pada titik ratusan lapangan harus ditutup. Pertanyaannya, apakah ini akhir dari tren padel, atau sekadar koreksi alami setelah ekspansi yang terlalu cepat?

Baca berita lainnya seputar padel di Liputan6.com.

1. Krisis Padel di Swedia

Swedia sempat menjadi salah satu pusat perkembangan padel terbesar di Eropa. Namun, kini situasi berbalik. Ratusan lapangan padel terpaksa gulung tikar akibat persaingan ketat, biaya operasional tinggi, serta penurunan tingkat penggunaan di luar jam sibuk.

Perusahaan besar seperti We Are Padel, yang berada di bawah grup LeDap, bahkan mengajukan restrukturisasi karena sebagian besar venue mereka sudah tidak lagi menguntungkan. Laporan menyebutkan hingga 50 persen lapangan berisiko ditutup permanen.

Fenomena serupa juga terjadi di Gothenburg, di mana klub besar Time 4 Padel dengan 19 lapangan resmi mengumumkan penutupan. Media bisnis internasional menyebut kasus Swedia sebagai peringatan keras bagi tren padel global yakni jangan sampai euforia pembangunan lapangan yang masif justru berakhir pada kehancuran finansial.

(Kondisi Fahmi Bo makin mengkhawatirkan, kini kakinya mengalami sebuah masalah hingga tak bisa digerakkan.)

2. Apakah Ini Tanda Hype Padel Turun?

Apakah Ini Tanda Hype Padel Turun?

Meski banyak lapangan tutup, sejumlah analis olahraga menilai bahwa hal ini bukan berarti padel sudah ditinggalkan sepenuhnya. Sebaliknya, pasar justru sedang mengalami seleksi alam akibat pembangunan yang terlalu cepat dan tidak terkendali. Contoh ekstremnya terjadi di Uppsala, di mana jumlah lapangan melonjak dari 14 menjadi sekitar 100 dalam kurun satu tahun.

Faktor lain juga turut berperan, seperti kenaikan biaya listrik, sewa gedung, dan inflasi pascapandemi. Kondisi ini membuat banyak pengelola yang tadinya bertumpu pada hype kini tidak sanggup bertahan. Dengan demikian, kasus Swedia lebih mencerminkan fase koreksi pasar ketimbang penurunan permanen minat padel.

3. Padel di Indonesia: Antara Hype dan Harapan

Padel di Indonesia: Antara Hype dan Harapan

Sementara itu, di Indonesia situasinya justru berlawanan. Olahraga padel masih menunjukkan tren pertumbuhan yang signifikan. Data per Juni 2025 mencatat ada sekitar 133 lapangan padel di Indonesia, dengan konsentrasi terbesar di Jabodetabek (40 persen) dan Bali (30 persen). Bahkan, menurut laporan The Jakarta Post, sejumlah klub melaporkan jadwal booking penuh setiap akhir pekan, menandakan tingginya antusiasme masyarakat.

Selain itu, platform data Poidata.io mencatat ada sekitar 63 usaha lapangan padel yang tersebar di berbagai provinsi, dengan Bali (15 lapangan), Jakarta (12 lapangan), Banten (7 lapangan), dan Jawa Timur (6 lapangan) sebagai wilayah dengan konsentrasi terbesar. Jumlah ini masih relatif kecil dibandingkan Swedia, sehingga peluang pertumbuhan padel di Indonesia masih terbuka lebar.

Fenomena padel di Indonesia juga ikut diperkuat oleh kehadiran selebritas. Atta Halilintar bersama keluarganya baru saja membangun lapangan padel modern dengan desain mewah.

Padel Club Indonesia di Bali hadir dengan lima court indoor dan outdoor yang berpadu dengan nuansa alam tropis. Tidak hanya itu, Atta juga tengah menyiapkan lapangan kedua di kawasan Pejaten, Jakarta, dengan konsep serupa.

Kehadiran fasilitas pendukung seperti kafe dan ruang ganti modern menjadikan padel bukan sekadar olahraga, tetapi juga gaya hidup. Langkah selebritas ini seolah menjadi indikator bahwa padel masih sangat diminati di Indonesia, terutama sebagai bagian dari tren gaya hidup urban.

4. Tren Baru: Padel Bertemu Pilates

Tren Baru: Padel Bertemu Pilates

Di tengah booming tersebut, kini muncul tren baru di kalangan komunitas kebugaran Indonesia yakni padel yang dipadukan dengan pilates. Meski belum sebesar tren padel itu sendiri, kombinasi ini mulai diperkenalkan di beberapa klub.

Disebut dengan Padelates, paduan ini dirancang untuk meningkatkan performa bermain padel dengan prinsip-prinsip penguatan tubuh dari Pilates. Selain itu, Padelates juga bisa merujuk pada latihan Pilates yang difokuskan khusus untuk para pemain padel agar memiliki mobilitas, keseimbangan, dan kekuatan yang optimal.

5. Indonesia Harus Hati-Hati

Meski hype masih terasa di Indonesia, pelaku industri perlu belajar dari pengalaman Swedia. Ekspansi yang terlalu cepat tanpa memperhitungkan kapasitas pasar berisiko menciptakan oversupply. Apalagi, biaya pemeliharaan lapangan padel tidaklah murah, sehingga perlu strategi bisnis yang matang.

Sejauh ini, Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda oversupply. Namun, dengan rencana pembangunan puluhan lapangan baru dalam dua tahun ke depan, para investor dan pengelola perlu lebih berhati-hati agar hype padel tidak bernasib sama dengan Swedia.

(Transformasi mencengangkan! Asri Welas sekarang terlihat makin cantik dan hot!)

Rekomendasi
Trending