Berprofesi sebagai detektif di kota Busan, Jang Hae-jun dikenal sebagai sosok yang tekun, cerdas,
dan memiliki dedikasi tinggi terhadap pekerjaannya. Namun di balik reputasinya sebagai penyelidik
handal, ia menyimpan kehidupan pribadi yang rapuh. Hae-jun menderita insomnia kronis yang
membuatnya sulit beristirahat dengan tenang.
Setiap malam ia terjaga, memandangi langit
gelap dari apartemennya yang sepi, sementara pikirannya terus dihantui oleh kasus-kasus yang belum
terselesaikan. Ia hanya bertemu istrinya, Jung-an, seminggu sekali. Jung-an bekerja sebagai manajer
di pembangkit listrik tenaga nuklir di kota Ipo, jauh dari Busan. Hubungan mereka mulai terasa
renggang, seolah jarak geografis itu juga menciptakan jarak emosional yang makin sulit dijembatani.
Suatu hari, Hae-jun bersama rekannya, Soo-wan, mendapat laporan tentang kematian
misterius seorang mantan petugas imigrasi bernama Ki Do-soo. Tubuhnya ditemukan di dasar sebuah
gunung yang sering ia daki sendirian. Sekilas, kematiannya tampak seperti kecelakaan. Namun, naluri
penyelidik Hae-jun mengatakan ada sesuatu yang janggal.
Ia memutuskan
menyelidiki lebih dalam, terutama setelah bertemu dengan istri mendiang, Song Seo-rae, seorang
perempuan muda asal Tiongkok yang bekerja sebagai perawat lansia. Perbedaan usia mereka
mencolok, dan dari awal pertemuan, Seo-rae tampak tidak menunjukkan kesedihan apa pun atas
kematian suaminya. Sikapnya yang tenang dan dingin membuat Hae-jun curiga.
Kecurigaan itu makin kuat ketika ia menemukan tanda-tanda kekerasan di tubuh Seo-rae. Ada
goresan di tangannya, memar di kakinya, bahkan tulang rusuk yang retak. Di tubuhnya juga terdapat
tato bertuliskan inisial Ki Do-soo, sama seperti monogram yang biasa digunakan sang suami untuk
menandai barang-barangnya.
Semua bukti itu mengarah pada kemungkinan
bahwa Seo-rae memiliki peran dalam kematian Ki. Namun, di sisi lain, sesuatu dari diri Seo-rae menarik
perhatian Hae-jun. Ia tidak seperti tersangka lain yang pernah ia tangani. Ada misteri dalam
pandangan matanya yang lembut, campuran antara kesedihan dan ketenangan yang sulit dijelaskan.
Hae-jun mulai melakukan pengintaian setiap malam di sekitar apartemen Seo-
rae. Ia duduk di mobilnya, memandangi jendela perempuan itu dari kejauhan, mencari tanda-tanda
mencurigakan. Namun semakin lama ia mengamati, pengintaian itu berubah menjadi obsesi. Ia mulai
terpesona oleh cara Seo-rae berbicara, berjalan, dan bahkan oleh kesendiriannya yang sunyi.
Seo-rae pun menyadari kehadiran Hae-jun. Alih-alih merasa takut, ia tampak tenang,
seolah menerima keberadaan sang detektif di sekeliling hidupnya. Ia bahkan sempat melihat Hae-jun
ketika sedang menyelidiki kasus lain, dan dari sana, muncul hubungan tak terucap di antara mereka
berdua.
Dalam penyelidikan lanjutan, seorang klien lansia yang menjadi pasien
Seo-rae bersaksi bahwa Seo-rae bersamanya pada hari Ki Do-soo meninggal. Rekaman kamera di
sekitar rumah klien juga memperlihatkan Seo-rae berada di lokasi pada waktu yang berdekatan
dengan kematian suaminya. Bukti itu tampak cukup untuk membebaskan Seo-rae dari kecurigaan.
Ketika ditanya tentang masa lalunya, Seo-rae mengaku bahwa ia pernah
membunuh ibunya sendiri di Tiongkok menggunakan pil fentanyl, karena sang ibu menderita penyakit
parah dan memohon agar dibebaskan dari rasa sakit. Sebelum meninggal, ibunya berpesan agar Seo-
rae pergi ke Korea dan mendaki gunung yang dulu diwariskan oleh kakeknya, seorang pejuang
kemerdekaan Korea di Manchuria.
Seo-rae kemudian menyerahkan beberapa
surat peninggalan suaminya kepada Hae-jun. Dalam surat-surat itu, Ki Do-soo mengakui
keterlibatannya dalam berbagai urusan bisnis gelap dan korupsi. Salah satu surat yang dikirim kepada
bawahannya dibaca Hae-jun sebagai surat bunuh diri.
Berdasarkan bukti-bukti
itu, ia memutuskan menutup kasus dengan kesimpulan bahwa Ki Do-soo bunuh diri. Meskipun
rekannya, Soo-wan, masih meragukannya, Hae-jun yakin keputusannya tepat. Ia pun memberi tahu
Seo-rae bahwa dirinya tak lagi menjadi tersangka.
Setelah kasus itu selesai,
hubungan Hae-jun dan Seo-rae semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama di sebuah kuil
Buddha, saling berkunjung ke rumah masing-masing, dan perlahan membiarkan diri mereka saling
mengenal lebih dalam.
Di apartemen Hae-jun, Seo-rae membakar foto-foto
bukti dari kasus suaminya, dengan alasan bahwa insomnia Hae-jun berasal dari semua kenangan
buruk yang ia simpan selama ini. Tindakan itu membuat Hae-jun tersentuh, sekaligus bingung, karena
di balik sikap lembut Seo-rae, masih ada sesuatu yang terasa gelap.
Namun
rahasia tak bisa disembunyikan selamanya. Suatu hari, ketika Hae-jun menggantikan Seo-rae untuk
mengunjungi klien lansianya, ia menemukan hal aneh. Seo-rae dan kliennya menggunakan model
ponsel yang sama, dan kliennya ternyata mengidap demensia hingga tak bisa membedakan hari.
Ketika Hae-jun memeriksa ponsel itu, ia menemukan data yang menunjukkan
bahwa pada hari kematian Ki Do-soo, ponsel tersebut mencatat aktivitas berjalan setara dengan 138
tingkat tangga. Fakta itu mengguncang pikirannya. Ia menyadari Seo-rae telah menukar ponselnya
dengan milik kliennya agar memiliki alibi, lalu diam-diam mendaki gunung dan mendorong Ki Do-soo
hingga tewas.
Hae-jun pun datang ke apartemen Seo-rae untuk
mengonfrontasinya. Dengan tenang ia menjelaskan temuannya, menuduh bahwa Seo-rae juga
memalsukan surat bunuh diri suaminya. Seo-rae tampak terpukul, tetapi tak menyangkal. Dalam
tatapan yang dingin, Hae-jun mengaku bahwa sejak mengenalnya, hidupnya hancur berantakan. Ia
kehilangan rasa bangga terhadap pekerjaannya, merasa dirinya telah menjadi manusia yang "retak".
Namun meskipun tahu kebenarannya, Hae-jun memilih melindungi Seo-rae. Ia
menutupi semua bukti dan hanya meninggalkan satu perintah, agar Seo-rae membuang ponsel yang
memberatkan dirinya ke laut, lalu melangkah pergi tanpa menoleh.
Di tengah
keheningan malam Busan yang lembap dan berangin, Seo-rae berdiri di tepi pantai, memandangi
gelombang yang datang silih berganti. Ponsel di tangannya bergetar pelan, seolah masih menyimpan
jejak kebohongan yang tak bisa dihapus. Saat ia melangkah ke arah ombak, wajahnya tak lagi
menunjukkan ketakutan, hanya kesedihan yang tenang.
Apakah mereka benar-
benar bisa lepas dari dosa yang telah mereka perbuat selama ini, atau justru terjebak dalam cinta yang
perlahan menenggelamkan keduanya?
Penulis artikel: Abdilla Monica Permata
B.