Kualitas Animasi 'MERAH PUTIH: ONE FOR ALL' Dikritik, Sutradara Endiarto: Kami Memang Mendesainnya Sederhana
Diterbitkan:

© KapanLagi.com/Fikri Alfi Rosyadi & YouTube/Historika Film
Kapanlagi.com - Sejak trailer-nya dirilis, film animasi MERAH PUTIH: ONE FOR ALL menuai beragam reaksi dari netizen, termasuk kritik mengenai kualitas visualnya yang dianggap di bawah standar. Menanggapi hal tersebut, sutradara Endiarto angkat bicara dan memberikan penjelasan mengenai pilihan artistik di balik filmnya.
Endiarto sama sekali tidak menampik bahwa kualitas filmnya mungkin tidak sebanding dengan film animasi papan atas. Namun, ia menegaskan bahwa tampilan visual yang sederhana adalah sebuah pilihan yang disengaja sejak awal.
"Saya tahu, jadi banyak suara-suara di luar sana, 'Kualitasnya buruk, nggak layak'. Saya tegaskan, kami tadi bicara, kami memilih film ini dengan segmen yang kita tentukan," kata Endiarto saat ditemui di kawasan Kuningan, Senin (11/8/2025).
Advertisement
Menurutnya, cerita, visual, dan audio sengaja dibuat sederhana agar mudah dicerna oleh target penonton utama mereka, yaitu anak-anak. Pilihan ini juga disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan tim produksi yang bekerja secara mandiri.
"Ceritanya yang sederhana, visual audionya juga sederhana, supaya bisa dicerna. Karena juga yang kedua, ini segmen leveling animasi kami. Ini kita tentukan kemampuan kami," jelas Endiarto.
Ia sadar bahwa untuk menghasilkan kualitas animasi yang lebih tinggi, dibutuhkan biaya dan waktu yang jauh lebih besar, sesuatu yang tidak mereka miliki. Daripada membiarkan momen 17 Agustus kosong tanpa tontonan baru, mereka memutuskan untuk tetap berjuang dengan sumber daya yang ada.
"Kalau ini harus dibikin yang high, tentunya cost-nya lebih gede, tapi nggak ada. Tapi masakan terus kosong? Ya kita berjibaku. Jadi kita buat memang levelnya yang sederhana," paparnya.
1. Nggak Kecewa
Endiarto juga menekankan bahwa tidak ada standar baku untuk sebuah film, karena keberhasilan seringkali bergantung pada animo penonton. Ia tidak merasa kecewa dengan kritik yang datang karena sejak awal sudah menyadari keterbatasan yang ada.
"Terlepas standarisasi, itu kan nggak ada standarisasi film. Parameter film sukses dan berhasil kan susah. Sukses dan berhasil tergantung dari animo penonton. Kecewa? Nggak juga, karena kami tahu dari awal. Kami tahu. Kecuali kami ini korporat gede lalu kami menghasilkan kayak begini, bedalah," jelasnya.
(Rumah tangga Tasya Farasya sedang berada di ujung tanduk. Beauty vlogger itu resmi mengirimkan gugatan cerai pada suaminya.)
2. Wujud Nyata Kontribusi Pekerja Film untuk Bangsa
Meskipun banyak pro dan kontra, Endiarto tetap berpegang teguh pada esensi dan sumbangsih yang ingin mereka berikan. Baginya, karya ini adalah wujud nyata kontribusi para pekerja kreatif film untuk bangsa.
"Yang penting kan esensinya. Walaupun banyak pro kontra, ya kami tetap. Karena inilah sumbangsih kami. Inilah sumbangsih kami, pekerja kreatif perfilman," tegasnya.
Ia mengambil contoh premis cerita yang sengaja diangkat dari kehidupan desa. Hal ini dipilih karena dianggap mewakili identitas mayoritas masyarakat Indonesia dan relevan dengan perayaan kemerdekaan di kampung-kampung.
"Makanya kita muncul ide itu dengan narasi dan identitas kehidupan di desa, yang merupakan identitas mayoritas di Indonesia. Di desa-desa itu. Makanya mengambil premisnya tentang perayaan 17-an gitu di kampung," pungkasnya.
Baca juga berita lainnya di Liputan6.com
(Kena spill Ruben Onsu, Ayu Ting Ting ternyata sudah punya pacar baru?)
(kpl/far/ums)
Advertisement